TEORI PERSON-CENTERED


BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Teori Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia/ individu. Psikolog humanistik mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana manusia melihat kehidupan mereka. Mereka berfokus pada kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan rasional untuk dalam mengendalikan hasrat biologisnya, serta dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.
Tokoh psikologi humanistik selain Abraham Maslow ialah Carl Rogers (1902-1987). Carl Rogers menjadi sangat terkenal karena metode terapi yang dikembangakannya, yaitu terapi yang berpusat pada individu atau yang lebih dikenal dengan Teori Nondirektif. Secara luas lagi mengenai teori ini akan dibahas di bab pembahasan pada makalah ini. Dari sosok Carl Rogers dengan teorinya yang begitu fenomenal, dan berbeda dibanding yang lain, penyusun bermaksud membahasnya dengan menitikberatkan pada pokok-pokok teori Rogers dan teori yang dikembangkannya.
B.       RUMUSAN MASALAH
Ada beberapa rumusan masalah  dalam makalah ini, yaitu:
1.        Apa saja prinsip-prinsip teori Rogers?
2.        Bagaimana pandangan Rogers tentang manusia?
3.        Bagaimana pandanagn teori person centered?
4.        Bagaiaman psikoterapi teori Rogers?
5.        Apa saja riset terkait tentang teori Rogers?
6.        Apa saja kritik terhadap teori Rogers?
C.      TUJUAN
Adapaun tujuan permbuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1.       
1
 
Prinsip teori Rogers
2.        Pandangan Rogers tentang manusia
3.        Pandangan teori Person Centered
4.        Psikoterapi teori Rogers
5.        Riset terkait tentang teori Rogers
6.        Kritik terhadap teori Rogers

BAB II
PEMBAHASAN
A.    BIOGRAFI CARL ROGERS
Carl Ransom Rogers lahir di Oak Park, Illinois, daerah pinggiran kota Chicago pada 8 Januari 1902, merupakan anak keempat dari enam bersaudara yang lahir dari pasangan Walter dan Julia Cushing Rogers. Dia merupakan anak yang cukup cerdas dan bisa membaca dengan baik sebelum masuk taman kanak-kanak. Rogers lebih dekat dengan ibu daripada ayahnya, karena selama bertahun-tahun awal kanal-kanaknya, sering kali jauh dari rumah karena perkerjaannya sebagai insinyur sipil. Walter dan Julia Rogers sama-sama religius, membuat Rogers tertarik pada Alkitab sehingga dia rajin membacanya. Rogers dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan dan menganut aliran protestan fundamentalis yang terkenal keras, dan kaku dalam hal agama, moral dan etika.Dari orangtuanya, dia juga belajar nilai kerja keras sebuah nilai yang, tidak seperti agama, lebih menetap abadi dalam dirinya di sepanjang hayatnya. Namun pada suatu waktu orangtua pindah ke daerah pertanian untuk mencegah dari pengaruh Suburb untuk anak-anak mereka. Di sinilah Rogers muda mulai tertarik dalam dunia pertanian.
Rogers memiliki cita-cita untuk menjadi petani, dan setelah lulus SMA dia masuk University of Wisconsin jurusan pertanian. Namun tak berapa lama kemudian dia mulai bosan dengan pertanian dan lebih tertarik kepada agama. Pada tahun ketiganya di Wisconsin, Rogers terlibat sangat dalam dengan aktivitas-aktivitas keagamaan di kampus dan menghabiskan waktu sampai 6 bulan berkeliling ke Peking, China untuk menghadiri konferensi agama bagi mahasiswa, dimulai dari tanggal . Perjalanan ini tampaknya memberikan kesan mendalam padanya. Interaksi dengan para pemimpin agama yang masih muda usianya sudah mengubahnya menjadi seorang pemikir yang lebih liberal dan mendorongnya menuju independensi dari pandangan-pandangan keagamaan orangtuanya. Pengalaman-pengalaman dengan rekan-rekan kepemimpinan ini juga memberi keyakinan-diri lebih besar dalam hubungan sosialnya. Sayang, dia kembali dari perjalanan itu dengan membawa penyakit.
Meskipun sakit mencegahnya untuk segera kembali ke kampus namun, sakit tidak bisa mencegahnya dari bekerja: Carl Rogers menghabiskan waktu sampai setahun menyibukkan diri dengan mengerjakan sebuah lahan pertanian dan pemotongan kayu setempat sebelum akhirnya dapat kembali lagi ke Wisconsin. Di sana dia segera bergabung dengan sebuah kelompok persaudaraan, menunjukkan rasa percaya diri yang lebih besar, dan secara umum penampilannya berubah dari sebelum dia pergi ke China.
Pada tahun 1924, Rogers masuk ke sekolah Union Theological Seminary di New York dengan niat menjadi pendeta. Ketika tinggal di seminari, dia mengikuti beberapa perkuliahan psikologi dan pendidikan di Columbia University dekat tempat tinggal. Di sana dia sangat terkesan oleh kemajuan perkembangan pendidikan John Dewey yang begitu kuat mendominasi fakultas keguruan universitas tersebut. Secara bertahap Rogers mulai enggan dengan pekerjaan-pekerjaan religiusnya yang bersifat doktriner itu. Meskipun Union Theological Seminary cukup liberal namun, Rogers memutuskan tidak ingin lagi mengukuhkan pengetahuannya tentang masalah iman selain menginginkan kebebasan lebih besar untuk mengeksplorasi ide-ide baru. Akhirnya, di musim gugur 1926 dia meninggalkan seminari untuk masuk ke Teachers College untuk mempelajari sepenuh waktu topic-topik psikologi klinis dan psikologi pendidikan. Dari sejak itu, dia tidak pernah kembali lagi ke agama formal. Hidupnya sekarang mengambil arah yang sama sekali baru menuju psikologi dan pendidikan.
Pada tahun 1927, Rogers bekerja sebagai rekanan di Institute for Child Guidance yang baru didirikan di New York City dan terus bekerja di sana sambil menyelesaikan gelar doktoralnya. Di institute, dia mendapatkan pengetahuan dasar tentang psikoanalisis Freudian namun tidak begitu terkesan dengannya meskipun dia sudak mencobanya dalam praktik. Dia juga mengikuti kuliah Alfred Adler, tokoh yang mengejutkan Rogers dan anggota staf lainnya lantaran keyakinannya bahwa pengelaborasian sejarah kasus tidak begitu dibutuhkan lagi bagi psikoterapi.
Rogers menerima gelar Ph.D dari Columbia pada 1931 setelah pindah ke New York untuk bekerja di Rochester Society for the Prevention of Cruelty to Children. Selama fase awal karier profesionalnya ini, Rogers terpengaruh sangat kuat oleh gagasan-gagasan Otto Rank, salah satu rekan terdekat Freud sebelum keluar dari lingkaran-dalamnya., Pada 1936, Rogers mengundang Rank ke Rochester untuk memberikan seminar tiga hari mengenai praktik psikoterapi post-Freudian-nya. Kuliah umum Rank ini memberi Rogers sebuah keyakinan mendalam bahwa terapi merupakan konsep tentang hubungan yang menghasilkan pertumbuhan emosional, disediakan lewat cara terapis menyimak secara empatis dan penerimaan tanpa syarat klien mereka.
Rogers menghabiskan waktu 12 tahun di Rochester dengan melakukan perkerjaan yang dengan mudak mengisolasinya dari kesuksesan karier akademis. Dia sudah melepaskan keinginan untuk mengajar di Universitas setelah memperoleh pengalaman singkat mengajar selama musim panas 1935 di Teachers College dan setelah mengajar di jurusan sosiologi University of Rochester. Selama periode ini, dia menulis buku pertamanya, The Clinical Treatment of the Problem Child (1939), yang membuatnya diundang untuk mengajar di Ohio State University. Rogers sebenarnya ingin menolak tawaran ini namun istrinya mendesak untuk menerimanya, apalagi pihak otoritas universitas di sana setuju memberinya posisi puncak dengan gelar akademis professor penuh. Pada 1940, di usia 38 tahun, Rogers pindah ke Columbus untuk memulai karier baru.
Karena mendapat tekanan dan tuntuntan dari mahasiswa-mahasiswa S-2 yang diajarnya, Rogers secara bertahap muai mengonseptualisasikan ide-idenya tentang psikoterapi, yang tidak dimaksudkannya sebagai sebuah teori yang unik apalagi controversial. Ide-ide ini ditulisnya dalam Counselling and Psychotherapy, terbit tahun 1942. Di buku ini, yang menjadi reaksi bagi pendekatan lama terhadap terapi, Rogers meminimalkan penyebab-penyebab dari gangguan dan pengidentifikasian dan pelabelan kelainan-kelainan. Bahkan dia menekankan pentingnya pertumbuhan batin pasien (yang disebut Rogers “klien”).
Pada tahun 1944, sebagai akibat dari pecahnya perang, Rogers pindah kembali New York sebagai direktur pelayanan konseling bagi United Services Organisation. Setelah bekerja satu tahun di sana, dia mengambil sebuah posisi di University of Chicago, dimana dia mendirikan sebuah pusat konseling dan memiliki kebebasan lebih besar untuk meneliti proses dan hasil psikoterapi. Tahun 1945 sampai 1957 di Chicago itu menjadi tahun-tahun paling produktif dan kreatif sepanjang kariernbya. Terapi Rogers berkembang dari hanya sekedar menekankan metodologi, atau yang di awal tahun 1940-an disebut teknik “ tidak-mengarahkan” (non directive technique) menjadi sebuah teknik yang lebih menekankan hubungan klien-terapis. Dan dengan sifat ilmuwannya, Rogers lagi-lagi menggandeng para mahasiswa dan koleganya untuk menghasilkan riset terobosan mengenai proses dan keefektifan psikoterapi.
Karena ingin mengembangkan riset-riset dan ide-idenya ke dalam psikiatri, Rogers sekali lagi menerima tawaran posisi di University of Wisconsin pada 1957. Namun dia merasa frustrasi dengan kariernya di Wisconsin karena tidak sanggup menyatukan profesi psikiatri dan psikologi. Selain itu, dia merasa kalau beberapa anggota staf risetnya sendiri sudah terlibat dalam perilaku yang tidak jujur dan tidak etis. Kecewa dengan pekerjaannya di sini, Rogers pindah ke California, di mana dia bergabung dengan Western Behavioral Sciences Institute (WBSI) dan menjadi semakin tertarik dengan riset tentang kelompok-kelompok pertemuan.
Rogers mundur dari WBSI saat dia merasa lembaga ini mulai kurang demokratis. Bersama 75 anggota laninnya dari institut tersebut, Rogers membentuk Center for Studies of the Person. Dia terus bekerja dengan kelompok-kelompok pertemuan namun meluaskan metode person-centered-nya bidang pendidikan (termasuk melatih para dokter) dan politik internasional. Selama tahun-tahun terakhir hidupnya, Rogers banyak menyelenggarakan lokakarya di luar negeri, seperti Hungaria, Brazilia, Afrika Selatan, dan Uni Soviet. Pada 4 Februari 1987 Rogers, meninggal setelah operasi bedah tulang pinggulnya, hal ini cukup kontroversi karena beberapa .
Kehidupan pribadi Carl Rogers sendiri ditandai oleh perubahan dan keterbukaan terhadap pengalaman. Ketika masih remaja dia sangat pemalu, tidak memiliki teman dekat, dan “secara sosial tidak kompeten bahkan untuk menjalin hubungan artificial sekalipun”. Namu begitu, dia memiliki kehidupann fantasi yang aktif, yang di kemudian hari didiagnosisnya sebagai “schizoid”. Sifat pemalu dan inkompetensi sosialnya banyak membatasi hubungan Rogers dengan peremupan. ketika masuk University of Wisconsin pertama kali, dia hanya sanggup berbicara dengan seorang perempuan muda yang sudah dikenalnya waktu SD dulu di Oak Park  Helen Elliot. Helen dan Rogers kemudian menikah pada 1924 dan memiliki dua anak  David dan Natalie. Meskipun menghadapi sejumlah masalah besar di awal hubungan-hubungan antar pribadinya namun, Rogers segera tumbuh menjadi salah satu pemikir terkemuka yang menjadikan nyata bahwa hubungan antarpribadi di antara dua individu merupakan kekuatan dahsyat yang dapat menumbuhkan perkembangan psikologis yang sehat pada diri keduanya. Namun transisi ini tidak pernah mudah. Dia harus meninggalkan agama formal orangtuanya, untuk kemudian secara bertahap membentuk sebuah filsafat humanistik/eksistensial yang diharapkannya dapat menjembatani jurang pemikiran Timur dan Barat.
Rogers menerima banyak penghargaan semasa kehidupan profesionalnya yang cukup lama. Dia menjadi presiden pertama American Association for Applied Psycholog dan membantu organisasi ini kembali menyatu dengan American Psychology Association (APA). Atas jerih payahnya itu, dia dipercayai menjadi presiden APA untuk peride 1946-1947 dan kemudian dipercaya menjadi presiden pertama American Academy of Psychotherapist. Pada 1956 dia menjadi pemenang bersama psikolog lain dalam Distingushed Scientific Contribution Award yang pertama kali diadakan APA. Penghargaan ini sangat memuaskan Rogers karena itu berarti pengakuan terhadap kemampuannya sebagai periset, sebuah kemampuan yang sudah dipelajarinya baik-baik sejak dia masih seorang anak kecil yang tinggal di sebuah pertanian Illinois.
Rogers awalnya tidak begitu memerhatikan teori kepribadian. Dan seperti sudah disinggung di atas, di bawah tekanan dan tuntutan mahasiswa-mahasiswa yang diajarnya, dan juga demi memuaskan kebutuhan batinnya untuk dapat menjelaskan fenomena yang sedang diobservasinya itulah, maka dia mengembangkan teorinya sendiri, yang pertama kali diujicobakan dalam agenda APA ketika dia menjadi presidennya. Teorinya lebih disempurnakan dalam Client-Centered Therapy (1951) dan diungkapkan lebih detail lagi dalam edisi Koch. Namun begitu, Rogers selalu menekankan bahwa teori mestinya tetap bersifat tentative, dan dengan pemikiran seperti inilah kita mestinya mendekati diskusi tentang teori kepribadian Rogerian.

B.    PRINSIP-PRINSIP CARL ROGERS
Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Hasrat Untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk   memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.
2.     Belajar Yang Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.
3.     Belajar Tanpa Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang bisaanya menyinggung perasaan.
4.     Belajar Atas Inisiatif Sendiri
Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn). Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar. Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain.
Disamping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai whole-person-learning belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki (feeling of belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar.
5.     Belajar Dan Perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan dating. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.

C.    PANDANGAN CARL ROGERS TENTANG MANUSIA
Pandangan rogers secara esensial disusun oleh persepsi. Bagi rogers objek utama dari kajian psikologi adalah manusia dan dunia yang dipandang oleh manusia itu. Menurut rogers, oleh karena itu, kerangka fenomenologis internal dari referensi individual akan membentuk dasar psikologi yang tepat. Yang dapat dikaji terutama oleh hukum-hukum yang mengatur persepsi.
Rogers memandang manusia sebagai bentuk-bentuk dari konsep dirinya (self concept) dan pengalaman di satu sisi, dan interpretasinya tentang stimulus lingkungan pada sisi yang lain. Inilah tingkatan kongruensi antara faktor-faktor tersebut  yang mempengaruhi perluasan aktualisasi diri yang terjadi. Rogers beragumentasi bahwa perubahan-perubahan dalam persepsi diri dan persepsi atas realitas menghasilkan perubahan yang serentak dalam perilaku dan hal itu memberikan kondisi psikologis tertentu bagi seseorang sehingga mempunyai kapasitas untuk mereorganisasi bidang persepsinya., termasuk bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Hal yang sangat penting adalah ancaman terhadap konsep diri, sebab diri biasanya menolak memasukkan pengalaman yang tidak konsisten dengan fungsinya. Maka rogers berpendapat bahwa ketika diri dipandang bebas dari ancaman serangan, maka diri mungkin akan menjawab persepsi yang bertolak dan mengintegrasikannya kembali diri dalam dalam cara yang sedemikian rupa hingga menjadi bagian darinya.
Ia menganggap terapi sebagai suatu proses yang di dalam individu memiliki kesempatan untuk mengorganisasi kembali dunia subjektifnya (the subjective world), dan untuk mengintegrasikan dan mengaktualisasikan diri. Dengan demikian, ia memandang proses utama dari terapi adalah memfasilitasi pengalaman individu untuk menjadi individu yang lebih otonom, spontan, percaya diri.
Meskipun demikian, ketika desakan potensi aktualisasi diri, ketika desakan potensi aktualisasi diri ada dalam diri seseorang, Rogers menyatakan bahwa kondisi-kondisi yang yang dapat memfasilitasi perkembangannya terdapat pada hubungan seseorang dengan ahli terapi, dan terjadi melalui hubungan yang dekat, hangat secara emosional dan saling pengertian dimana individu bebas dari ancaman dan memiliki kebebasan untuk menjadi “diri yang sesungguhnya”.
Saya sapat menetapkan keseluruhan hipotesis dalam satu kalimat, sebagai berikut: Jika saya dapat melakukakan suatu jenis hubungan tertentu, orang lain akan menemukan dalam dirinya kapasitas untuk tumbuh, dan berubah, serta perkembangan pribadi akan terjadi. (Rogers, 1961, hlm.33). Jenis hubungan yang dimaksud oleh rogers ini memiliki tiga kualitas khusus yang penting, pertama adalah antusias atau kemurnian dari para ahli terapi. Untuk mencapai hal itu ahli terapi harus sadar perasaanya sendiri, sejauh yang mungkin dilakukan, dan tidak menunjukkan sikap kepura-puraan, jika mungkin dapat mengekspresikan berbagai sikap dan perasaan. Kondisi kedua dari hubungan terapeutik adalah memandang positif kondisi yang tidak sama (unconditional positiv regard) kepada klien, memberi harga dan nilai kepada seseorang sebagai seorang individu yang terlepas dari kondisinya, perilaku dan perasaan, respek terhadap seseorang, dan penerimaan terhadap seseorang karena kebenaran yang dimilikinya. Kondisi ketiga dari hubungan itu adalah pengertian empatis atau mendengarkan secara tulus keinginan yang terus meenerus untuk memahami perasaan dan makna pribadi yang dialami seseorang.
Jadi hubungan bermanfaat ini dicirikan sikap keterbukaan saya, dalam hal ini perasaan saya adalah tampak jelas, karena penerimaan terhadap orang lain ini sebagai orang yang terpisah dengan nilai kebenaran miliknya sendiri dan dengan pengertian empatis yang mendalam yag memungkinkan saya melihat dunia pribadinya melalui tatapan matanya. Pada saat kondisi-kondisi ini tercapai, saya menjadi kawan bagi klien saya, menemaninya dalam ketakutan mencari dirinya sendiri, kini dia merasakan bebas melakukannya.
D.    TEORI PERSON CENTERED
Terapi person centered merupakan model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan dikembangkan oleh psikolog humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek terapi person centered. Menurut Roger konsep inti terapi person centered adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Berdasarkan sejarahnya, terapi yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa perkembangan. Pada mulanya dia mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive counseling (1940). Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive counseling dan terlalu tradisional. Pada 1951 Rogers mengubah namanya menjadi client-centered therapy sehubungan dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Kemudian pada 1957 Rogers mengubah sekali lagi pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada person (person centred therapy), yang memandang klien sebagai partner dan perlu adanya keserasian pengalaman baik pada klien maupun terapis. Terapi ini memperoleh sambutan positif dari kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara pesat. Hingga saat ini, terapi ini masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan.
Pendekatan terapi person centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada bagaimana membantu dan mengarahkan klien pada pengaktualisasian diri untuk dapat mengatasi permasalahannya dan mencapai kebahagiaan atau mengarahkan individu tersebut menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan.
Terapi ini cocok untuk orang-orang dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya, mereka biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya, sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya. Contohnya orang-orang yang merasakan penolakan dan pengucilan dari yang lain, pengasingan yakni orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensive, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya.

E.    PSIKOTERAPI
Terapi yang berpusat pada klien (client-centered) terlihat sederhana dalam teori, namun cukup sulit dalam praktiknya. Singkatnya, pendekatan yang berpusat pada klien berpendapat bahwa untuk orang-orang yang rentan atau cemas, dapat berkembang secara psikologis jika bertemu dengan terapis yang kongruen dan yang mereka rasakan sebagai orang yang mampu memberikan nuansa penerimaan tidak bersyarat dan empati yang akurat Akan tetapi, di sanalah terletak kesulitannya. Kualitas dari kongruensi, penerimaan positif tidak bersyarat, dan pengertian secara empati tidak mudah untuk dimiliki oleh seorang konselor.
Seperti teori yang berpusat pada pribadi, pendekatan konseling yang berpusat pada klien dapat dinyatakan dalam bentuk jika-lalu. Jika kondisi kongruensi, penerimaan positif tidak bersyarat, dan mendengarkan secara empati dari terapi tersedia dengan baik dalam hubungan klien-konselor, maka proses terapi dapat terjadi Jika proses terapi terjadi, maka beberapa hasil dapat diprediksikan. Oleh karena itu, terapi Rogerian dapat dilihat dalam hal kondisi, proses, dan hasil
1.     Kondisi
Rogers (1959) mengasumsikan bahwa agar suatu perkembangan terapeutik dapat terjadi, beberapa kondisi berikut dianggap perlu dan memadai. Pertama, klien yang cemas atau rentan harus bertemu dengan terapis yang kongruen, yang juga memiliki empati, dan penerimaan positif tidak bersyarat untuk klien tersebut Kemudian, klien juga harus dapat melihat karakteristik tersebut dari terapisnya. Terakhir, pertemuan antara klien dan terapis harus mempunyai durasi tertentu.
a.      Kongruensi Konselor
Kondisi pertama yang perlu dan memadai untuk perubahan secara terapeutik adalah terapis yang kongruen. Kongruensi terjadi apabila pengalaman organismik seseorang sejalan dengan kesadaran atas pengalaman tersebut» serta dengan kemampuan dan keinginan untuk secara terbuka mengekspresikan perasaan-perasaan tersebut (Rogers, 1980). Untuk menjadi kongruen adalah untuk menjadi nyata atau jujur, untuk menjadi utuh atau terintegrasi, untuk menjadi apa adanya. Dengan demikian Kongruensi Meliputi perasaan, kesadaran, dan ekspresi
b.     Penerimaan Positif Tidak Bersyarat
Penghargaan positif adalah kebutuhan untuk disukai dihargai, dan diterima oleh orang lain. Saat kebutuhan ini muncul tanpa adanya syarat atau kualifikasi, maka muncullah penerimaan positif yang tidak bersyarat (Rogers, 1980). Terapis mempunyai penerimaan positif yang tidak bersyarat saat mereka "mengalami sikap yang hangat, positif, dan menerima kepada apa yang menjadi kliennya. (Rogers 1961, hlrn. 62). Sikap ini tidak bersifat posesif, tidak evaluatif, dan tanpa keraguan.
c.      Mendengarakan Secara Empati
Kondisi perlu dan memadai ketiga dalam pertumbuhan psikologis adalah mendengarkan secara empati. Empati hadir saat terapis secara akurat dapat merasakan perasaan dari klien mereka dan dapat mengomunikasikan persepsi ini, supaya klien mengetahui bahwa orang lain telah memasuki dunia perasaan tanpa prasangka, proyeksi, ataupun evaluasi Bagi Rogers (1980), empati "berarti untuk sementara hidup dalam kehidupan orang lain, bergerak di dalamnya dengan hati-hati tanpa menghakimi" (hlm 142). Empati tidak termasuk menginterpretasikan tujuan-tujuan dari klien ataupun membuka perasaan yang tidak disadari, prosedur-prosedur yang dapat mengikutsertakan kerangka referensi luar ataupun ancaman bagi klien. Sebaliknya, empati mengimplikasikan bahwa seorang terapis melihat segala sesuatunya dari sudut pandang klien, dan klien merasa aman serta tidak terancam
2.     Proses
Apakah kondisi-kondisi terapisyang kongruen, menerima positif yang tidak bersyarat, dan empati telah hadir, maka proses perubahaan teraupetik akan berlangsungwalaupun orang-orang yang mencari psikoterapi itu unik, rogers yakin bahwa ada aturan-aturan tertentu yang menjadi karakterisasi dari proses terapi.
a.      Tahap Dalam Perubahaan Terapeutik
Proses dari perubahan kepribadian yang konstruktif dapat diletakkan dalam sebuah kontinum dari yang paling defensif ke yang paling terintegrasi. Rogers (1961) membagi kontinum ini menjadi tujuh tahapan.
b.     Penjelasaan Teoritis Dari Perubahaan Terapeutik
Apakah rumusan teoretis yang dapat menjelaskan dinamika dari perubahan terapeutik? Rogers (1980) memberikan penjelasan sesuai dengan alur logika.
3.     Hasil
Apabila proses perubahan terapeutik mulai terjadi, maka dapat diharapkan beberapa hasil mulai dapat dioberservasi. Salah satu hasil yang paling mendasar dari terapi yang berpusat pada klien adalah klien yang kongruen, tidak defensif, dan lebih terbuka terhadap pengalaman. Hasil lainnya merupakan konsekuensi logis dari hasil dasar ini.
Sebagai hasil dari menjadi lebih kongruen dan tidak defensif, klien akan mempunyai gambaran yang lebih jelas mengenai dirinya dan pandangan yang lebih realistis terhadap dunia. Mereka lebih mampu untuk mengasimilasikan pengalaman mereka ke dalam diri mereka dalam level simbolik; menjadi lebih efektif dalam menyelesaikan masalah; dan mempunyai level penghargaan diri yang positif yang lebih tinggi.
Dengan menjadi realistis, mereka mempunyai pandangan yang lebih akurat terhadap potensi mereka, yang dapat membantu mereka meminimalisasi perbedaan antara diri ideal dengan diri sebenarnya. Biasanya» perbedaan ini dipersempit karena diri ideal dan diri sebenarnya sama-sama mengalami suatu pergerakan. Oleh karena klien menjadi lebih realistis, mereka menurunkan ekspektasi tentang bagaimana mereka harus menjadi atau bagaimana mereka ingin menjadi; dan karena mengalami peningkatan level penghargaan diri yang positif, mereka menaikkan pandangan mereka tentang diri mereka sebenarnya.
Ciri-ciri person centered therapy atau client centered therapy Carl Rogers (dalam gunarsa,1996) dalam bukunya “Counseling and Psychotherapy” menjelaskan mengenai ciri-ciri dari client centered therapy sebagai berikut:
a.      Perhatian diarahkan kepada pribadi klien dan bukan kepada masalahnya. Tujuannya bukan memecahkan suatu masalah tertentu tetapi membantu seseorang untuk tumbuh sehingga ia bisa mengatasi masalah baik masalah sekarng maupun masalah yang akan datang dengan cara yang lebih baik dan lebih tepat.
b.     Hal yang kedua ialah penekanan lebih banyak terhadap faktor emosi daripada terhadap faktor intelektual. Dalam kenyataannya, banyak perbuatan yang dipengaruhi oleh emosi daripada oleh pikiran artinya seseorang bisa mengerathui bahwa suatu perbuatan sebenarnya tidak baikjadi secara rasional, intelektual, ia mengetahui itu dan tahu pula bahwa ia tidak boleh melakukan itu namun kenyataannya lain.
c.      Hal yang ketiga memberikan tekanan yang lebih besar terhadap keadaan yang ada sekarang daripada terhadap apa yang sudah lewat atau terjadi.
d.     Hal yang keempat ialah penekanan hubungan terapuetik itu sendiri sebagai tumbuhnya pengalaman. Di sini seseorang belajar memahami diri sendiri, membuat keputusan yang penting dengan bebas dan bisa sukses berhubungan dengan orang lain secara dewasa.
Proses terapi merupakan penyelarasian antara gambaran diri klien dengan keadaan dan pengalaman diri yang sesungguhnya. Klien memegang peranan aktif dalam konseling sedangkan konselor bersifat pasif-reflektif
4.     Proses Konseling dan terapi
            Konseling yang berpusat pada klien memusatkan pada pengalaman individu. Dalam proses disorganisasi dan reorganisasi diri, konseling berupaya untuk meminimalkan rasa diri terancam dan memaksimalkan serta menopang eksplorasi diri. Wawancara merupakan alat utama dalam konseling untuk menumbuhkan hubungan timbal balik.  Tujuan konseling yang berpusat pada klien ini adalah menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk eksplorasi diri sehingga dapat mengenal hambatan pertumbuhannya dan dapat mengalami aspek dari sebelumnya terganggu. Selain itu membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan, kepercayaan yang lebih besar kepada dirinya, keinginan untuk menjadi pribadi dan meningkatkan spontanitas hidup. Klien dikatakan sudah sembuh apabila:
a.      Kepribadiannya terintegrasi, dan mampu menyelesaikan masalahnya yang dihadapinya atas tanggung jawab diri, memiliki gambaran diri yang serasi dengan pengalaman sendiri.
b.     Mempunyai gambaran diri dalama rti memandang fakta yang lama dengan pandangan baru.
c.      Mengenal dan menerima diri sendiri sebagaimana adanya dengan   segala kekurangan dan kelebihan.
d.     Dapat memilih dan menenukan tujuan hidup atas tanggung jawab sendiri
            Konselor yang efektif dalam konseling yang berpusat pada klien adalah seseorang yang dapat mengembangkan sikap dalam organisasi pribadinya dan dapat menerapkan secara konsisten  dengan teknik konseling yang digunakan. Karakteristik konselor yang efektif adalah:
a.      Berupaya untuk memahami apa yang dikatakan klien dalam kaitannya dengan isi dan perasaan dan kemudian mengkomunikasikanpemahaman ini pada klien.
b.     Menafsirkan apa yang telah dikatakan klien dengan menawarkan sintesis perasaan yang telah dikemukakan.
c.      Menerima apa yang telah dikatakan klien dengan dengan implikasi bahwa apa yang telah dikatakan itu telah dipahami.
d.     Setelah isu (masalah) jelas, dapat menetapkan hubungan terapeutik, situasi yang diharapkan, dan batas hubungan konselor klien.
e.      Berusaha berhubungan klien dengan gesture (isyarat badan), penampilan, ekspresi muka, kata-kata, sehingga klien merasa diterima dan percaya dalam mencapai kecakapan memecahkan masalah.
f.      Menjawab pertanyaan dan memberi informasi.
g.     Secara aktif berpartisipasi dalam situasi terapi.
            Pada garis besarnya langkah-langkah proses terapi dalam konseling yang berpusat pada klien adalah sebagai berikut:
a.      Individu atas kemauan sendiri datang kepada konselor atau terapis untuk meminta bantuan.
b.     Situasi terapeutik ditetapkan atau dimulai sejak situasi permulaan telah didasarkan bahwa bertanggung jawab dalam hal-hal ini adalah klien.
c.      Konselor mendorong atau memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan atau mengungkapkan perasaannya secara bebas berkenaan dengan masalah yang dihadapinya.
d.     Konselor menerima, mengenal dan memahami perasaan-perasaan negatif yang diungkap klien kemudian meresponnya. Respon konselor harus menujukan atau mengarahkan kepada apa yang ada dibalik ungkapan-ungkapan perasaan itu sehingga menimbulkan suasana klien dapat memahami dan menerima keadaan negatif atau tidak menyenangkan itu tidak diproyeksikan pada orang kain atau disembunyikan sehingga menajdi mekanisme pertahanan diri.
e.      Ungkapan-ungkapan perasaan negatif yang meluap-luapkan dari klien itu biasanya disertai ungkapan-ungkapan perasaan positif yang lemah atau samar-samar yang dapat disembuhkan.
f.      Konselor menerima dan memahami perasaan-perasaan posiitf ysng diugkapkan klien sebagai mana adanya.
g.     Klien memahami dan menerima dirinya sendiri sebagaimana adanya.
h.     Apabila klien telah memahami dan menerima dirinya, maka tahap berikutnya adalah memilih dan menentukan pilihan sikap dan tindakan mana yang akan diambiil. Dalam hal ini konsleor membantu memberikan penjelasan-penjelasan yang berhubungan dengan keputusan pilihan yang diambil klien.
i.       Klien mencoba memanifestasikan atau mengaktualisasikan pilihanya itu dalam sikap dan perilakunya.
j.       Langkah selanjutnya adalah perkembangan sikap dan dan tingkah lakunya itu adalah sejalan dengan perkembangan pemahaman dengan dirinya.
k.     Perilaku klien makin bertambah terintegrasi dan pilihan-pilihan yang dilakukan makin baik.
l.       Klien merasakan kebutuhan akan pertolongan mulai berkurang dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa terapi harus diakhiri.
F.     PENELITIAN TERKAIT
Dibandingkan dengan teori Maslow, gagasan Rogers mengenai kekuatan dari penerimaan positif yang tidak bersyarat menghasilkan beberapa penelitian empiris. Penelitian Rogers sendiri mengenai kondisi yang perlu dan memadai untuk pertumbuhan psikologis juga menjadi pendahulu dari psikologi positif dan telah semakin didukung oleh banyak temuan dari penelitian modern (Cramer, 1994, 2002, 2003a). Selain itn, pendapat Rogers tentang inkongruensi antara diri sebenarnya dan diri ideal serta motivasi untuk mencapai suatu tujuan terus menghasilkan banyak perhatian dari peneliti.
1.     Teori Diskrepansi Diri
Rogers juga mengajukan gagasan bahwa kongruensi antara bagaimana kita benar-benar melihat diri kita dan bagaimana idealnya kita ingin menjadi sebagai elemen penting dari kesehatan mental. Apabila kedua evaluasi diri ini kongruen, maka seseorang biasanya dapat dikatakan sehat dan relatif berhasil dalam menyesuaikan diri. Apabila tidak, maka seseorang akan mengalami berbagai bentuk ketidaknyamanan mental, seperti kecemasan, depresi, dan harga diri yang rendah.
2.     Motivasi Dan Peraihan Tujuaan
Salah satu ranah penelitian ketika ide Rogers masih terus memiliki banyak pengaruh adalah dalam peraihan tujuan. Menetapkan dan meraih tujuan adalah suatu cara manusia untuk mengatur kehidupannya supaya dapat memberikan hasil yang diinginkan dan menambah arti pada kegiatan sehari-hari. Menetapkan tujuan merupakan hal yang mudah, namun menetapkan tujuan yang tepat dapat menjadi lebih sulit daripada kelihatannya. Menurut Rogers, sumber dari kecemasan psikologis adalah inkongruensi, atau saat diri ideal seseorang tidak cukup bertumpukan dengan konsep dirinya, dan inkongruensi ini dapat direpresentasikan melalui tujuan-tujuan yang seseorang pilih untuk diraihnya. Sebagai contoh, seseorang meraih tujuan untuk berhasil dalam bidang biologi, tetapi bahkan tidak menyukai biologi ataupun membutuhkan keberhasilan tersebut untuk mencapai tujuannya menjadi seorang arsitek.

G.   KRITIK TERHADAP TEORI CARL ROGERS
Seberapa baik teori Rogers memuaskan keenam kriteria teori yang bermanfaat? Pertama, apakah teorinya telah menghasilkan penelitian dan memberikan hipotesis yang dapat dikaji? Walaupun teori Rogerian telah menghasilkan banyak penelitian dalam ranah psikoterapi dan pembelajaran ruang kelas (lihat Rogers, 1983), tidak terlalu banyak penelitian di luar kedua area tersebut sehingga mendapatkan penilaian sedang dalam kemampuannya untuk memancing munculnya aktivitas penelitian dalam ruang lingkup umum psikologi.
Kedua, kita menilai teori Rogerian tinggi dalam kemampuan untuk diuji ulang. Rogers adalah salah satu dari beberapa pakar teori yang memakai kerangka apabila-maka dalam teorinya, dan paradigma seperti itu memberikan kesempatan untuk konfirmasi atau sebaliknya. Bahasa yang akurat dan pasti memfasilitasi penelitian dalam University of Chicago dan kemudian pada University of Winsconsin yang membuat teori terapinya mampu untuk diuji ulang. Sayangnya» semenjak kematian Rogers, banyak pengikut yang berorientasi pada humanistis yang telah gagal menguji teori umumnya.
Ketiga, apakah teori yang berpusat pada pribadi {person-centered) dapat mengorganisasikan pengetahuan ke dalam kerangka yang bermakna? Walaupun banyak dari penelitian yang dimunculkan oleh teori Rogerian terbatas pada hubungan interpersonal, teori tersebut tetap dapat diperluas kepada ranah kepribadian manusia yang lebih luas Minat Rogers melampaui ruang konsultasi dan meliputi dinamika kelompok, belajar di kelas» problem sosial, dan hubungan internasional. Oleh karena itu, kita menilai teori yang berpusat pada pribadi tinggi dalam kemampuannya untuk menjelaskan apa yang diketahui mengenai perilaku manusia sejauh ini
Keempat, bagaimana teori yang berpusat pada pribadi berperan sebagai acuan untuk solusi masalah praktisi Untuk psikoterapi, jawabannya tidak serempak. Untuk membawa perubahan kepribadian,terapis harus memiliki kongruensi dan mampu mendemonstrasikan pemahaman secara empati dan penerimaan positif tidak bersyarat untuk kliennya. Rogers mengatakan bahwa ketiga kondisi ini wajib dan cukup untuk memengaruhi pertumbuhan dalam hubungan interpersonal, termasuk yang ada di luar terapi.
Kelima apakah teori yang berpusat pada pribadi memiliki konsistensi internal dengan seperangkat definisi operasional. Kami menilai teori ini cukup tinggi dalam aspek konsistensi dan definisi operasionalnya yang dibuat dengan hati-hati. Pembuat teori di masa depan dapat belajar suatu pelajaran berharga dari hasil pekerjaan yang dilakukan Rogers dalam mengonstruksikan teori kepribadian.
Terakhir, apakah teori Rogers termasuk hemat dan terbebas dari konsep yang terlalu berai dan bahasa yang sulit? Teori itu sendiri cukup jelas dan ekonomis, tidak seperti kebanyakan teori tetapi beberapa bahasa yang digunakan tergolong canggung dan tidak jelas. Konsep-konsep seperti "pengalaman organismik", "menjadi", "penghargaan diri yang positif* "kebutuhan untuk memperhatikan diri" "penerimaan tidak bersyarat" dan "berfungsi sepenuhnya” terlalu tuas dan tidak akurat untuk mempunyai arti ilmiah. Akan tetapi, kritik ini hanyalah sesuatu hal yang kecil apabila dibandingkan dengan keseluruhan kekuatan dan kehematan dari teori yang berpusat pada pribadi.





DAFTAR PUSTAKA
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psycotherapy. Thomson Higher Education: USA
Feist, Jest & Gregory, J. Feist. 2011. Theories of Personality. McGraw Hill : New York
Hall, S. Calvin & Gardner Lindzey. 1978. Theories of Personality (Third Edition). John Wiley & Sons : USA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI EKSISTENSIAL : ROLLO MAY

ANALISIS KASUS MENGGUNAKAN PENDEKATAN PSIKOANALISIS DAN PENDEKATAN ADLER