TEORI PERSON-CENTERED
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Teori
Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia/ individu.
Psikolog humanistik mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana manusia
melihat kehidupan mereka. Mereka berfokus pada kemampuan manusia untuk berfikir
secara sadar dan rasional untuk dalam mengendalikan hasrat biologisnya, serta
dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam pandangan humanistik, manusia
bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan
kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.
Tokoh
psikologi humanistik selain Abraham Maslow ialah Carl Rogers (1902-1987). Carl
Rogers menjadi sangat terkenal karena metode terapi yang dikembangakannya,
yaitu terapi yang berpusat pada individu atau yang lebih dikenal dengan Teori
Nondirektif. Secara luas lagi mengenai teori ini akan dibahas di bab pembahasan
pada makalah ini. Dari sosok Carl Rogers dengan teorinya yang begitu fenomenal,
dan berbeda dibanding yang lain, penyusun bermaksud membahasnya dengan
menitikberatkan pada pokok-pokok teori Rogers dan teori yang dikembangkannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Ada
beberapa rumusan masalah dalam makalah
ini, yaitu:
1.
Apa saja prinsip-prinsip teori
Rogers?
2.
Bagaimana pandangan Rogers tentang
manusia?
3.
Bagaimana pandanagn teori person
centered?
4.
Bagaiaman psikoterapi teori Rogers?
5.
Apa saja riset terkait tentang teori
Rogers?
6.
Apa saja kritik terhadap teori
Rogers?
C. TUJUAN
Adapaun
tujuan permbuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1.
Prinsip teori Rogers
|
2.
Pandangan Rogers tentang manusia
3.
Pandangan teori Person Centered
4.
Psikoterapi teori Rogers
5.
Riset terkait tentang teori Rogers
6.
Kritik terhadap teori Rogers
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
CARL ROGERS
Carl Ransom
Rogers lahir di Oak Park, Illinois, daerah pinggiran kota Chicago pada 8
Januari 1902, merupakan anak keempat dari enam bersaudara yang lahir dari
pasangan Walter dan Julia Cushing Rogers. Dia merupakan anak yang cukup cerdas
dan bisa membaca dengan baik sebelum masuk taman kanak-kanak. Rogers lebih
dekat dengan ibu daripada ayahnya, karena selama bertahun-tahun awal
kanal-kanaknya, sering kali jauh dari rumah karena perkerjaannya sebagai
insinyur sipil. Walter dan Julia Rogers sama-sama religius, membuat Rogers
tertarik pada Alkitab sehingga dia rajin membacanya. Rogers dibesarkan dalam
keluarga yang berkecukupan dan menganut aliran protestan fundamentalis yang
terkenal keras, dan kaku dalam hal agama, moral dan etika.Dari orangtuanya, dia
juga belajar nilai kerja keras sebuah nilai yang, tidak seperti agama, lebih
menetap abadi dalam dirinya di sepanjang hayatnya. Namun pada suatu waktu
orangtua pindah ke daerah pertanian untuk mencegah dari pengaruh Suburb untuk
anak-anak mereka. Di sinilah Rogers muda mulai tertarik dalam dunia pertanian.
Rogers
memiliki cita-cita untuk menjadi petani, dan setelah lulus SMA dia masuk
University of Wisconsin jurusan pertanian. Namun tak berapa lama kemudian dia
mulai bosan dengan pertanian dan lebih tertarik kepada agama. Pada tahun
ketiganya di Wisconsin, Rogers terlibat sangat dalam dengan aktivitas-aktivitas
keagamaan di kampus dan menghabiskan waktu sampai 6 bulan berkeliling ke
Peking, China untuk menghadiri konferensi agama bagi mahasiswa, dimulai dari
tanggal . Perjalanan ini tampaknya memberikan kesan mendalam padanya. Interaksi
dengan para pemimpin agama yang masih muda usianya sudah mengubahnya menjadi
seorang pemikir yang lebih liberal dan mendorongnya menuju independensi dari
pandangan-pandangan keagamaan orangtuanya. Pengalaman-pengalaman dengan
rekan-rekan kepemimpinan ini juga memberi keyakinan-diri lebih besar dalam
hubungan sosialnya. Sayang, dia kembali dari perjalanan itu dengan membawa
penyakit.
Meskipun
sakit mencegahnya untuk segera kembali ke kampus namun, sakit tidak bisa
mencegahnya dari bekerja: Carl Rogers menghabiskan waktu sampai setahun
menyibukkan diri dengan mengerjakan sebuah lahan pertanian dan pemotongan kayu
setempat sebelum akhirnya dapat kembali lagi ke Wisconsin. Di sana dia segera
bergabung dengan sebuah kelompok persaudaraan, menunjukkan rasa percaya diri
yang lebih besar, dan secara umum penampilannya berubah dari sebelum dia pergi
ke China.
Pada tahun
1924, Rogers masuk ke sekolah Union Theological Seminary di New York dengan
niat menjadi pendeta. Ketika tinggal di seminari, dia mengikuti beberapa
perkuliahan psikologi dan pendidikan di Columbia University dekat tempat
tinggal. Di sana dia sangat terkesan oleh kemajuan perkembangan pendidikan John
Dewey yang begitu kuat mendominasi fakultas keguruan universitas tersebut.
Secara bertahap Rogers mulai enggan dengan pekerjaan-pekerjaan religiusnya yang
bersifat doktriner itu. Meskipun Union Theological Seminary cukup liberal
namun, Rogers memutuskan tidak ingin lagi mengukuhkan pengetahuannya tentang
masalah iman selain menginginkan kebebasan lebih besar untuk mengeksplorasi
ide-ide baru. Akhirnya, di musim gugur 1926 dia meninggalkan seminari untuk
masuk ke Teachers College untuk mempelajari sepenuh waktu topic-topik psikologi
klinis dan psikologi pendidikan. Dari sejak itu, dia tidak pernah kembali lagi
ke agama formal. Hidupnya sekarang mengambil arah yang sama sekali baru menuju
psikologi dan pendidikan.
Pada tahun
1927, Rogers bekerja sebagai rekanan di Institute for Child Guidance yang baru
didirikan di New York City dan terus bekerja di sana sambil menyelesaikan gelar
doktoralnya. Di institute, dia mendapatkan pengetahuan dasar tentang
psikoanalisis Freudian namun tidak begitu terkesan dengannya meskipun dia sudak
mencobanya dalam praktik. Dia juga mengikuti kuliah Alfred Adler, tokoh yang mengejutkan
Rogers dan anggota staf lainnya lantaran keyakinannya bahwa pengelaborasian
sejarah kasus tidak begitu dibutuhkan lagi bagi psikoterapi.
Rogers
menerima gelar Ph.D dari Columbia pada 1931 setelah pindah ke New York untuk
bekerja di Rochester Society for the Prevention of Cruelty to Children. Selama
fase awal karier profesionalnya ini, Rogers terpengaruh sangat kuat oleh
gagasan-gagasan Otto Rank, salah satu rekan terdekat Freud sebelum keluar dari
lingkaran-dalamnya., Pada 1936, Rogers mengundang Rank ke Rochester untuk
memberikan seminar tiga hari mengenai praktik psikoterapi post-Freudian-nya.
Kuliah umum Rank ini memberi Rogers sebuah keyakinan mendalam bahwa terapi
merupakan konsep tentang hubungan yang menghasilkan pertumbuhan emosional,
disediakan lewat cara terapis menyimak secara empatis dan penerimaan tanpa
syarat klien mereka.
Rogers
menghabiskan waktu 12 tahun di Rochester dengan melakukan perkerjaan yang
dengan mudak mengisolasinya dari kesuksesan karier akademis. Dia sudah
melepaskan keinginan untuk mengajar di Universitas setelah memperoleh
pengalaman singkat mengajar selama musim panas 1935 di Teachers College dan
setelah mengajar di jurusan sosiologi University of Rochester. Selama periode
ini, dia menulis buku pertamanya, The Clinical Treatment of the Problem Child
(1939), yang membuatnya diundang untuk mengajar di Ohio State University.
Rogers sebenarnya ingin menolak tawaran ini namun istrinya mendesak untuk
menerimanya, apalagi pihak otoritas universitas di sana setuju memberinya posisi
puncak dengan gelar akademis professor penuh. Pada 1940, di usia 38 tahun,
Rogers pindah ke Columbus untuk memulai karier baru.
Karena
mendapat tekanan dan tuntuntan dari mahasiswa-mahasiswa S-2 yang diajarnya,
Rogers secara bertahap muai mengonseptualisasikan ide-idenya tentang
psikoterapi, yang tidak dimaksudkannya sebagai sebuah teori yang unik apalagi
controversial. Ide-ide ini ditulisnya dalam Counselling and Psychotherapy,
terbit tahun 1942. Di buku ini, yang menjadi reaksi bagi pendekatan lama terhadap
terapi, Rogers meminimalkan penyebab-penyebab dari gangguan dan
pengidentifikasian dan pelabelan kelainan-kelainan. Bahkan dia menekankan
pentingnya pertumbuhan batin pasien (yang disebut Rogers “klien”).
Pada tahun
1944, sebagai akibat dari pecahnya perang, Rogers pindah kembali New York
sebagai direktur pelayanan konseling bagi United Services Organisation. Setelah
bekerja satu tahun di sana, dia mengambil sebuah posisi di University of
Chicago, dimana dia mendirikan sebuah pusat konseling dan memiliki kebebasan
lebih besar untuk meneliti proses dan hasil psikoterapi. Tahun 1945 sampai 1957
di Chicago itu menjadi tahun-tahun paling produktif dan kreatif sepanjang
kariernbya. Terapi Rogers berkembang dari hanya sekedar menekankan metodologi,
atau yang di awal tahun 1940-an disebut teknik “ tidak-mengarahkan” (non
directive technique) menjadi sebuah teknik yang lebih menekankan hubungan
klien-terapis. Dan dengan sifat ilmuwannya, Rogers lagi-lagi menggandeng para
mahasiswa dan koleganya untuk menghasilkan riset terobosan mengenai proses dan
keefektifan psikoterapi.
Karena ingin
mengembangkan riset-riset dan ide-idenya ke dalam psikiatri, Rogers sekali lagi
menerima tawaran posisi di University of Wisconsin pada 1957. Namun dia merasa
frustrasi dengan kariernya di Wisconsin karena tidak sanggup menyatukan profesi
psikiatri dan psikologi. Selain itu, dia merasa kalau beberapa anggota staf
risetnya sendiri sudah terlibat dalam perilaku yang tidak jujur dan tidak etis.
Kecewa dengan pekerjaannya di sini, Rogers pindah ke California, di mana dia
bergabung dengan Western Behavioral Sciences Institute (WBSI) dan menjadi
semakin tertarik dengan riset tentang kelompok-kelompok pertemuan.
Rogers
mundur dari WBSI saat dia merasa lembaga ini mulai kurang demokratis. Bersama
75 anggota laninnya dari institut tersebut, Rogers membentuk Center for Studies
of the Person. Dia terus bekerja dengan kelompok-kelompok pertemuan namun
meluaskan metode person-centered-nya bidang pendidikan (termasuk melatih para
dokter) dan politik internasional. Selama tahun-tahun terakhir hidupnya, Rogers
banyak menyelenggarakan lokakarya di luar negeri, seperti Hungaria, Brazilia,
Afrika Selatan, dan Uni Soviet. Pada 4 Februari 1987 Rogers, meninggal setelah
operasi bedah tulang pinggulnya, hal ini cukup kontroversi karena beberapa .
Kehidupan
pribadi Carl Rogers sendiri ditandai oleh perubahan dan keterbukaan terhadap
pengalaman. Ketika masih remaja dia sangat pemalu, tidak memiliki teman dekat,
dan “secara sosial tidak kompeten bahkan untuk menjalin hubungan artificial
sekalipun”. Namu begitu, dia memiliki kehidupann fantasi yang aktif, yang di
kemudian hari didiagnosisnya sebagai “schizoid”. Sifat pemalu dan inkompetensi
sosialnya banyak membatasi hubungan Rogers dengan peremupan. ketika masuk
University of Wisconsin pertama kali, dia hanya sanggup berbicara dengan
seorang perempuan muda yang sudah dikenalnya waktu SD dulu di Oak Park Helen Elliot. Helen dan Rogers kemudian
menikah pada 1924 dan memiliki dua anak
David dan Natalie. Meskipun menghadapi sejumlah masalah besar di awal
hubungan-hubungan antar pribadinya namun, Rogers segera tumbuh menjadi salah
satu pemikir terkemuka yang menjadikan nyata bahwa hubungan antarpribadi di
antara dua individu merupakan kekuatan dahsyat yang dapat menumbuhkan
perkembangan psikologis yang sehat pada diri keduanya. Namun transisi ini tidak
pernah mudah. Dia harus meninggalkan agama formal orangtuanya, untuk kemudian
secara bertahap membentuk sebuah filsafat humanistik/eksistensial yang
diharapkannya dapat menjembatani jurang pemikiran Timur dan Barat.
Rogers
menerima banyak penghargaan semasa kehidupan profesionalnya yang cukup lama.
Dia menjadi presiden pertama American Association for Applied Psycholog dan
membantu organisasi ini kembali menyatu dengan American Psychology Association
(APA). Atas jerih payahnya itu, dia dipercayai menjadi presiden APA untuk
peride 1946-1947 dan kemudian dipercaya menjadi presiden pertama American
Academy of Psychotherapist. Pada 1956 dia menjadi pemenang bersama psikolog lain
dalam Distingushed Scientific Contribution Award yang pertama kali diadakan
APA. Penghargaan ini sangat memuaskan Rogers karena itu berarti pengakuan
terhadap kemampuannya sebagai periset, sebuah kemampuan yang sudah
dipelajarinya baik-baik sejak dia masih seorang anak kecil yang tinggal di
sebuah pertanian Illinois.
Rogers
awalnya tidak begitu memerhatikan teori kepribadian. Dan seperti sudah
disinggung di atas, di bawah tekanan dan tuntutan mahasiswa-mahasiswa yang
diajarnya, dan juga demi memuaskan kebutuhan batinnya untuk dapat menjelaskan
fenomena yang sedang diobservasinya itulah, maka dia mengembangkan teorinya
sendiri, yang pertama kali diujicobakan dalam agenda APA ketika dia menjadi
presidennya. Teorinya lebih disempurnakan dalam Client-Centered Therapy (1951)
dan diungkapkan lebih detail lagi dalam edisi Koch. Namun begitu, Rogers selalu
menekankan bahwa teori mestinya tetap bersifat tentative, dan dengan pemikiran
seperti inilah kita mestinya mendekati diskusi tentang teori kepribadian Rogerian.
B. PRINSIP-PRINSIP
CARL ROGERS
Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hasrat Untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia
mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa
ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi
dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi
kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk
memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang
dunia di sekitarnya.
2.
Belajar Yang
Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa
yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan
belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.
3.
Belajar Tanpa
Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan
dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses
belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat
mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa
mendapat kecaman yang bisaanya menyinggung perasaan.
4.
Belajar Atas
Inisiatif Sendiri
Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan
atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu
memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan
kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how
to learn). Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu
penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk
mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai
hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada
proses maupun hasil belajar. Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid
menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid
belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang
dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi
lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak
lain.
Disamping atas inisiatif sendiri,
belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif.
Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai
whole-person-learning belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi
yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan
perasaan memiliki (feeling of belonging ) pada diri murid. Dengan demikian,
murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani
tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus
belajar.
5.
Belajar Dan
Perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang
paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. Menurut Rogers, di
waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan
yang statis. Waktu itu dunia lambat brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah
sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan
merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat
membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan
dating. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu
belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.
C. PANDANGAN
CARL ROGERS TENTANG MANUSIA
Pandangan rogers secara esensial
disusun oleh persepsi. Bagi rogers objek utama dari kajian psikologi adalah
manusia dan dunia yang dipandang oleh manusia itu. Menurut rogers, oleh karena
itu, kerangka fenomenologis internal dari referensi individual akan membentuk
dasar psikologi yang tepat. Yang dapat dikaji terutama oleh hukum-hukum yang
mengatur persepsi.
Rogers memandang manusia sebagai
bentuk-bentuk dari konsep dirinya (self concept) dan pengalaman di satu sisi,
dan interpretasinya tentang stimulus lingkungan pada sisi yang lain. Inilah
tingkatan kongruensi antara faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi
perluasan aktualisasi diri yang terjadi. Rogers beragumentasi bahwa
perubahan-perubahan dalam persepsi diri dan persepsi atas realitas menghasilkan
perubahan yang serentak dalam perilaku dan hal itu memberikan kondisi
psikologis tertentu bagi seseorang sehingga mempunyai kapasitas untuk
mereorganisasi bidang persepsinya., termasuk bagaimana mereka memandang diri
mereka sendiri. Hal yang sangat penting adalah ancaman terhadap konsep diri,
sebab diri biasanya menolak memasukkan pengalaman yang tidak konsisten dengan
fungsinya. Maka rogers berpendapat bahwa ketika diri dipandang bebas dari
ancaman serangan, maka diri mungkin akan menjawab persepsi yang bertolak dan
mengintegrasikannya kembali diri dalam dalam cara yang sedemikian rupa hingga
menjadi bagian darinya.
Ia menganggap terapi sebagai suatu
proses yang di dalam individu memiliki kesempatan untuk mengorganisasi kembali
dunia subjektifnya (the subjective world), dan untuk mengintegrasikan dan
mengaktualisasikan diri. Dengan demikian, ia memandang proses utama dari terapi
adalah memfasilitasi pengalaman individu untuk menjadi individu yang lebih
otonom, spontan, percaya diri.
Meskipun demikian, ketika desakan
potensi aktualisasi diri, ketika desakan potensi aktualisasi diri ada dalam
diri seseorang, Rogers menyatakan bahwa kondisi-kondisi yang yang dapat
memfasilitasi perkembangannya terdapat pada hubungan seseorang dengan ahli
terapi, dan terjadi melalui hubungan yang dekat, hangat secara emosional dan
saling pengertian dimana individu bebas dari ancaman dan memiliki kebebasan
untuk menjadi “diri yang sesungguhnya”.
Saya sapat menetapkan keseluruhan
hipotesis dalam satu kalimat, sebagai berikut: Jika saya dapat melakukakan
suatu jenis hubungan tertentu, orang lain akan menemukan dalam dirinya
kapasitas untuk tumbuh, dan berubah, serta perkembangan pribadi akan terjadi.
(Rogers, 1961, hlm.33). Jenis hubungan yang dimaksud oleh rogers ini memiliki tiga
kualitas khusus yang penting, pertama adalah antusias atau kemurnian dari para
ahli terapi. Untuk mencapai hal itu ahli terapi harus sadar perasaanya sendiri,
sejauh yang mungkin dilakukan, dan tidak menunjukkan sikap kepura-puraan, jika
mungkin dapat mengekspresikan berbagai sikap dan perasaan. Kondisi kedua dari
hubungan terapeutik adalah memandang positif kondisi yang tidak sama
(unconditional positiv regard) kepada klien, memberi harga dan nilai kepada
seseorang sebagai seorang individu yang terlepas dari kondisinya, perilaku dan
perasaan, respek terhadap seseorang, dan penerimaan terhadap seseorang karena
kebenaran yang dimilikinya. Kondisi ketiga dari hubungan itu adalah pengertian
empatis atau mendengarkan secara tulus keinginan yang terus meenerus untuk
memahami perasaan dan makna pribadi yang dialami seseorang.
Jadi hubungan bermanfaat ini
dicirikan sikap keterbukaan saya, dalam hal ini perasaan saya adalah tampak
jelas, karena penerimaan terhadap orang lain ini sebagai orang yang terpisah
dengan nilai kebenaran miliknya sendiri dan dengan pengertian empatis yang
mendalam yag memungkinkan saya melihat dunia pribadinya melalui tatapan
matanya. Pada saat kondisi-kondisi ini tercapai, saya menjadi kawan bagi klien
saya, menemaninya dalam ketakutan mencari dirinya sendiri, kini dia merasakan
bebas melakukannya.
D. TEORI
PERSON CENTERED
Terapi person
centered merupakan model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan
dikembangkan oleh psikolog humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan
dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif,
makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi
kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke
masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self
fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa
beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dan menjadi
dasar pemikiran dalam praktek terapi person centered. Menurut Roger
konsep inti terapi person centered adalah konsep tentang diri dan konsep
menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Berdasarkan
sejarahnya, terapi yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa
perkembangan. Pada mulanya dia mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive
counseling (1940). Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori
konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor
atau directive counseling dan terlalu tradisional. Pada 1951
Rogers mengubah namanya menjadi client-centered therapy sehubungan
dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif
terhadap perasaan klien. Kemudian pada 1957 Rogers mengubah sekali lagi
pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada person (person centred
therapy), yang memandang klien sebagai partner dan perlu adanya keserasian
pengalaman baik pada klien maupun terapis. Terapi ini memperoleh sambutan
positif dari kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara
pesat. Hingga saat ini, terapi ini masih relevan untuk dipelajari dan
diterapkan.
Pendekatan
terapi person centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan
isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Terapi ini
berfokus pada bagaimana membantu dan mengarahkan klien pada pengaktualisasian
diri untuk dapat mengatasi permasalahannya dan mencapai kebahagiaan atau
mengarahkan individu tersebut menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Konsep
pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self),
aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan.
Terapi ini
cocok untuk orang-orang dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan
dalam dirinya, mereka biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan
dikehidupannya, sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya.
Contohnya orang-orang yang merasakan penolakan dan pengucilan dari yang lain,
pengasingan yakni orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari
orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak
kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan
mengenai konsep dirinya, defensive, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya.
E. PSIKOTERAPI
Terapi yang berpusat pada klien (client-centered)
terlihat sederhana dalam teori, namun cukup sulit dalam praktiknya.
Singkatnya, pendekatan yang berpusat pada klien berpendapat bahwa untuk
orang-orang yang rentan atau cemas, dapat berkembang secara psikologis jika
bertemu dengan terapis yang kongruen dan yang mereka rasakan sebagai orang yang
mampu memberikan nuansa penerimaan tidak bersyarat dan empati yang akurat Akan
tetapi, di sanalah terletak kesulitannya. Kualitas dari kongruensi, penerimaan
positif tidak bersyarat, dan pengertian secara empati tidak mudah untuk
dimiliki oleh seorang konselor.
Seperti teori yang berpusat pada pribadi,
pendekatan konseling yang berpusat pada klien dapat dinyatakan dalam bentuk
jika-lalu. Jika kondisi kongruensi, penerimaan positif tidak bersyarat,
dan mendengarkan secara empati dari terapi tersedia dengan baik dalam hubungan
klien-konselor, maka proses terapi dapat terjadi Jika proses terapi terjadi,
maka beberapa hasil dapat diprediksikan. Oleh karena itu, terapi
Rogerian dapat dilihat dalam hal kondisi, proses, dan hasil
1. Kondisi
Rogers
(1959) mengasumsikan bahwa agar suatu perkembangan terapeutik dapat terjadi,
beberapa kondisi berikut dianggap perlu dan memadai. Pertama, klien yang cemas
atau rentan harus bertemu dengan terapis yang kongruen, yang juga memiliki empati,
dan penerimaan positif tidak bersyarat untuk klien tersebut Kemudian, klien
juga harus dapat melihat karakteristik tersebut dari terapisnya. Terakhir,
pertemuan antara klien dan terapis harus mempunyai durasi tertentu.
a. Kongruensi
Konselor
Kondisi pertama yang perlu dan memadai
untuk perubahan secara terapeutik adalah terapis yang kongruen. Kongruensi
terjadi apabila pengalaman organismik seseorang sejalan dengan kesadaran atas
pengalaman tersebut» serta dengan kemampuan dan keinginan untuk secara terbuka
mengekspresikan perasaan-perasaan tersebut (Rogers, 1980). Untuk menjadi
kongruen adalah untuk menjadi nyata atau jujur, untuk menjadi utuh atau
terintegrasi, untuk menjadi apa adanya. Dengan demikian Kongruensi Meliputi
perasaan, kesadaran, dan ekspresi
b. Penerimaan
Positif Tidak Bersyarat
Penghargaan positif adalah kebutuhan untuk disukai dihargai, dan diterima
oleh orang lain. Saat kebutuhan ini muncul tanpa adanya syarat atau
kualifikasi, maka muncullah penerimaan positif yang tidak bersyarat (Rogers,
1980). Terapis mempunyai penerimaan positif yang tidak bersyarat saat mereka
"mengalami sikap yang hangat, positif, dan menerima kepada apa yang
menjadi kliennya.” (Rogers 1961, hlrn. 62). Sikap ini tidak bersifat
posesif, tidak evaluatif, dan tanpa keraguan.
c. Mendengarakan
Secara Empati
Kondisi perlu dan memadai ketiga dalam
pertumbuhan psikologis adalah mendengarkan secara empati. Empati hadir saat
terapis secara akurat dapat merasakan perasaan dari klien mereka dan dapat
mengomunikasikan persepsi ini, supaya klien mengetahui bahwa orang lain telah
memasuki dunia perasaan tanpa prasangka, proyeksi, ataupun evaluasi Bagi Rogers
(1980), empati "berarti untuk sementara hidup dalam kehidupan orang lain,
bergerak di dalamnya dengan hati-hati tanpa menghakimi" (hlm 142). Empati
tidak termasuk menginterpretasikan tujuan-tujuan dari klien ataupun membuka
perasaan yang tidak disadari, prosedur-prosedur yang dapat mengikutsertakan
kerangka referensi luar ataupun ancaman bagi klien. Sebaliknya, empati
mengimplikasikan bahwa seorang terapis melihat segala sesuatunya dari sudut
pandang klien, dan klien merasa aman serta tidak terancam
2. Proses
Apakah
kondisi-kondisi terapisyang kongruen, menerima positif yang tidak bersyarat,
dan empati telah hadir, maka proses perubahaan teraupetik akan
berlangsungwalaupun orang-orang yang mencari psikoterapi itu unik, rogers yakin
bahwa ada aturan-aturan tertentu yang menjadi karakterisasi dari proses terapi.
a. Tahap
Dalam Perubahaan Terapeutik
Proses dari perubahan kepribadian yang konstruktif dapat diletakkan dalam
sebuah kontinum dari yang paling defensif ke yang paling terintegrasi. Rogers
(1961) membagi kontinum ini menjadi tujuh tahapan.
b. Penjelasaan
Teoritis Dari Perubahaan Terapeutik
Apakah rumusan teoretis yang dapat
menjelaskan dinamika dari perubahan terapeutik? Rogers (1980) memberikan
penjelasan sesuai dengan alur logika.
3. Hasil
Apabila
proses perubahan terapeutik mulai terjadi, maka dapat diharapkan beberapa hasil
mulai dapat dioberservasi. Salah satu hasil yang paling mendasar dari terapi
yang berpusat pada klien adalah klien yang kongruen, tidak defensif, dan lebih
terbuka terhadap pengalaman. Hasil lainnya merupakan konsekuensi logis dari
hasil dasar ini.
Sebagai
hasil dari menjadi lebih kongruen dan tidak defensif, klien akan mempunyai
gambaran yang lebih jelas mengenai dirinya dan pandangan yang lebih realistis
terhadap dunia. Mereka lebih mampu untuk mengasimilasikan pengalaman mereka ke
dalam diri mereka dalam level simbolik; menjadi lebih efektif dalam
menyelesaikan masalah; dan mempunyai level penghargaan diri yang positif yang
lebih tinggi.
Dengan
menjadi realistis, mereka mempunyai pandangan yang lebih akurat terhadap
potensi mereka, yang dapat membantu mereka meminimalisasi perbedaan antara diri
ideal dengan diri sebenarnya. Biasanya» perbedaan ini dipersempit karena diri
ideal dan diri sebenarnya sama-sama mengalami suatu pergerakan. Oleh karena
klien menjadi lebih realistis, mereka menurunkan ekspektasi tentang bagaimana
mereka harus menjadi atau bagaimana mereka ingin menjadi; dan karena mengalami
peningkatan level penghargaan diri yang positif, mereka menaikkan pandangan
mereka tentang diri mereka sebenarnya.
Ciri-ciri person centered therapy
atau client centered therapy Carl Rogers (dalam gunarsa,1996) dalam bukunya
“Counseling and Psychotherapy” menjelaskan mengenai ciri-ciri dari client
centered therapy sebagai berikut:
a. Perhatian
diarahkan kepada pribadi klien dan bukan kepada masalahnya. Tujuannya bukan
memecahkan suatu masalah tertentu tetapi membantu seseorang untuk tumbuh
sehingga ia bisa mengatasi masalah baik masalah sekarng maupun masalah yang
akan datang dengan cara yang lebih baik dan lebih tepat.
b. Hal
yang kedua ialah penekanan lebih banyak terhadap faktor emosi daripada terhadap
faktor intelektual. Dalam kenyataannya, banyak perbuatan yang dipengaruhi oleh
emosi daripada oleh pikiran artinya seseorang bisa mengerathui bahwa suatu
perbuatan sebenarnya tidak baikjadi secara rasional, intelektual, ia mengetahui
itu dan tahu pula bahwa ia tidak boleh melakukan itu namun kenyataannya lain.
c. Hal
yang ketiga memberikan tekanan yang lebih besar terhadap keadaan yang ada sekarang
daripada terhadap apa yang sudah lewat atau terjadi.
d. Hal
yang keempat ialah penekanan hubungan terapuetik itu sendiri sebagai tumbuhnya
pengalaman. Di sini seseorang belajar memahami diri sendiri, membuat keputusan
yang penting dengan bebas dan bisa sukses berhubungan dengan orang lain secara
dewasa.
Proses terapi merupakan penyelarasian
antara gambaran diri klien dengan keadaan dan pengalaman diri yang
sesungguhnya. Klien memegang peranan aktif dalam konseling sedangkan konselor
bersifat pasif-reflektif
4.
Proses Konseling dan terapi
Konseling yang
berpusat pada klien memusatkan pada pengalaman individu. Dalam proses
disorganisasi dan reorganisasi diri, konseling berupaya untuk meminimalkan rasa
diri terancam dan memaksimalkan serta menopang eksplorasi diri. Wawancara
merupakan alat utama dalam konseling untuk menumbuhkan hubungan timbal
balik. Tujuan konseling yang berpusat pada klien ini adalah menciptakan
suasana yang kondusif bagi klien untuk eksplorasi diri sehingga dapat mengenal
hambatan pertumbuhannya dan dapat mengalami aspek dari sebelumnya terganggu.
Selain itu membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan, kepercayaan
yang lebih besar kepada dirinya, keinginan untuk menjadi pribadi dan
meningkatkan spontanitas hidup. Klien dikatakan sudah sembuh apabila:
a.
Kepribadiannya terintegrasi, dan
mampu menyelesaikan masalahnya yang dihadapinya atas tanggung jawab diri,
memiliki gambaran diri yang serasi dengan pengalaman sendiri.
b.
Mempunyai gambaran diri dalama rti
memandang fakta yang lama dengan pandangan baru.
c.
Mengenal dan menerima diri sendiri
sebagaimana adanya dengan segala kekurangan dan kelebihan.
d.
Dapat memilih dan menenukan tujuan
hidup atas tanggung jawab sendiri
Konselor yang efektif
dalam konseling yang berpusat pada klien adalah seseorang yang dapat
mengembangkan sikap dalam organisasi pribadinya dan dapat menerapkan secara
konsisten dengan teknik konseling yang digunakan. Karakteristik konselor
yang efektif adalah:
a.
Berupaya untuk memahami apa yang
dikatakan klien dalam kaitannya dengan isi dan perasaan dan kemudian
mengkomunikasikanpemahaman ini pada klien.
b.
Menafsirkan apa yang telah
dikatakan klien dengan menawarkan sintesis perasaan yang telah dikemukakan.
c.
Menerima apa yang telah dikatakan
klien dengan dengan implikasi bahwa apa yang telah dikatakan itu telah dipahami.
d.
Setelah isu (masalah) jelas, dapat
menetapkan hubungan terapeutik, situasi yang diharapkan, dan batas hubungan
konselor klien.
e.
Berusaha berhubungan klien dengan
gesture (isyarat badan), penampilan, ekspresi muka, kata-kata, sehingga klien
merasa diterima dan percaya dalam mencapai kecakapan memecahkan masalah.
f.
Menjawab pertanyaan dan memberi
informasi.
g.
Secara aktif berpartisipasi dalam
situasi terapi.
Pada garis besarnya
langkah-langkah proses terapi dalam konseling yang berpusat pada klien adalah
sebagai berikut:
a.
Individu atas kemauan sendiri
datang kepada konselor atau terapis untuk meminta bantuan.
b.
Situasi terapeutik ditetapkan atau
dimulai sejak situasi permulaan telah didasarkan bahwa bertanggung jawab dalam
hal-hal ini adalah klien.
c.
Konselor mendorong atau
memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan atau mengungkapkan perasaannya
secara bebas berkenaan dengan masalah yang dihadapinya.
d.
Konselor menerima, mengenal dan
memahami perasaan-perasaan negatif yang diungkap klien kemudian meresponnya.
Respon konselor harus menujukan atau mengarahkan kepada apa yang ada dibalik
ungkapan-ungkapan perasaan itu sehingga menimbulkan suasana klien dapat
memahami dan menerima keadaan negatif atau tidak menyenangkan itu tidak diproyeksikan
pada orang kain atau disembunyikan sehingga menajdi mekanisme pertahanan diri.
e.
Ungkapan-ungkapan perasaan negatif
yang meluap-luapkan dari klien itu biasanya disertai ungkapan-ungkapan perasaan
positif yang lemah atau samar-samar yang dapat disembuhkan.
f.
Konselor menerima dan memahami
perasaan-perasaan posiitf ysng diugkapkan klien sebagai mana adanya.
g.
Klien memahami dan menerima
dirinya sendiri sebagaimana adanya.
h.
Apabila klien telah memahami dan
menerima dirinya, maka tahap berikutnya adalah memilih dan menentukan pilihan
sikap dan tindakan mana yang akan diambiil. Dalam hal ini konsleor membantu
memberikan penjelasan-penjelasan yang berhubungan dengan keputusan pilihan yang
diambil klien.
i.
Klien mencoba memanifestasikan
atau mengaktualisasikan pilihanya itu dalam sikap dan perilakunya.
j.
Langkah selanjutnya adalah
perkembangan sikap dan dan tingkah lakunya itu adalah sejalan dengan
perkembangan pemahaman dengan dirinya.
k.
Perilaku klien makin bertambah
terintegrasi dan pilihan-pilihan yang dilakukan makin baik.
l.
Klien merasakan kebutuhan akan
pertolongan mulai berkurang dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa terapi harus
diakhiri.
F. PENELITIAN
TERKAIT
Dibandingkan dengan teori Maslow, gagasan
Rogers mengenai kekuatan dari penerimaan positif yang tidak bersyarat
menghasilkan beberapa penelitian empiris. Penelitian Rogers sendiri mengenai
kondisi yang perlu dan memadai untuk pertumbuhan psikologis juga menjadi
pendahulu dari psikologi positif dan telah semakin didukung oleh banyak temuan
dari penelitian modern (Cramer, 1994, 2002, 2003a). Selain itn, pendapat Rogers
tentang inkongruensi antara diri sebenarnya dan diri ideal serta motivasi untuk
mencapai suatu tujuan terus menghasilkan banyak perhatian dari peneliti.
1. Teori
Diskrepansi Diri
Rogers
juga mengajukan gagasan bahwa kongruensi antara bagaimana kita benar-benar
melihat diri kita dan bagaimana idealnya kita ingin menjadi sebagai elemen
penting dari kesehatan mental. Apabila kedua evaluasi diri ini kongruen, maka
seseorang biasanya dapat dikatakan sehat dan relatif berhasil dalam menyesuaikan
diri. Apabila tidak, maka seseorang akan mengalami berbagai bentuk
ketidaknyamanan mental, seperti kecemasan, depresi, dan harga diri yang rendah.
2. Motivasi
Dan Peraihan Tujuaan
Salah
satu ranah penelitian ketika ide Rogers masih terus memiliki banyak pengaruh adalah dalam peraihan tujuan.
Menetapkan dan meraih tujuan adalah suatu cara manusia untuk mengatur
kehidupannya supaya dapat memberikan hasil yang diinginkan dan menambah arti
pada kegiatan sehari-hari. Menetapkan tujuan merupakan hal yang mudah, namun
menetapkan tujuan yang tepat dapat menjadi lebih sulit daripada kelihatannya.
Menurut Rogers, sumber dari kecemasan psikologis adalah inkongruensi, atau saat diri ideal
seseorang tidak cukup bertumpukan dengan konsep dirinya, dan inkongruensi ini
dapat direpresentasikan melalui tujuan-tujuan yang seseorang pilih untuk
diraihnya. Sebagai contoh, seseorang meraih tujuan untuk berhasil dalam bidang
biologi, tetapi bahkan tidak menyukai biologi ataupun membutuhkan keberhasilan
tersebut untuk mencapai tujuannya menjadi seorang arsitek.
G. KRITIK
TERHADAP TEORI CARL ROGERS
Seberapa baik teori Rogers memuaskan
keenam kriteria teori yang bermanfaat? Pertama, apakah teorinya telah menghasilkan
penelitian dan memberikan hipotesis yang dapat dikaji? Walaupun teori
Rogerian telah menghasilkan banyak penelitian dalam ranah psikoterapi dan
pembelajaran ruang kelas (lihat Rogers, 1983), tidak terlalu banyak
penelitian di luar kedua area tersebut sehingga mendapatkan penilaian sedang
dalam kemampuannya untuk memancing munculnya aktivitas penelitian dalam ruang
lingkup umum psikologi.
Kedua, kita menilai teori Rogerian tinggi
dalam kemampuan untuk diuji ulang. Rogers adalah salah satu dari beberapa
pakar teori yang memakai kerangka apabila-maka dalam teorinya, dan paradigma
seperti itu memberikan kesempatan untuk konfirmasi atau sebaliknya. Bahasa yang
akurat dan pasti memfasilitasi penelitian dalam University of Chicago dan
kemudian pada University of Winsconsin yang membuat teori terapinya mampu untuk
diuji ulang. Sayangnya» semenjak kematian Rogers, banyak pengikut yang
berorientasi pada humanistis yang telah gagal menguji teori umumnya.
Ketiga, apakah teori yang berpusat pada
pribadi {person-centered) dapat mengorganisasikan pengetahuan ke
dalam kerangka yang bermakna? Walaupun banyak dari penelitian yang dimunculkan
oleh teori Rogerian terbatas pada hubungan interpersonal, teori tersebut tetap
dapat diperluas kepada ranah kepribadian manusia yang lebih luas Minat Rogers
melampaui ruang konsultasi dan meliputi dinamika kelompok, belajar di kelas»
problem sosial, dan hubungan internasional. Oleh karena itu, kita menilai teori
yang berpusat pada pribadi tinggi dalam kemampuannya untuk menjelaskan apa yang
diketahui mengenai perilaku manusia sejauh ini
Keempat, bagaimana teori yang berpusat
pada pribadi berperan sebagai acuan untuk solusi masalah praktisi Untuk
psikoterapi, jawabannya tidak serempak. Untuk membawa perubahan
kepribadian,terapis harus memiliki kongruensi dan mampu mendemonstrasikan
pemahaman secara empati dan penerimaan positif tidak bersyarat untuk kliennya.
Rogers mengatakan bahwa ketiga kondisi ini wajib dan cukup untuk memengaruhi
pertumbuhan dalam hubungan interpersonal, termasuk yang ada di luar terapi.
Kelima apakah teori yang berpusat pada
pribadi memiliki konsistensi internal dengan seperangkat definisi
operasional. Kami menilai teori ini cukup tinggi dalam aspek konsistensi dan
definisi operasionalnya yang dibuat dengan hati-hati. Pembuat teori di masa
depan dapat belajar suatu pelajaran berharga dari hasil pekerjaan yang
dilakukan Rogers dalam mengonstruksikan teori kepribadian.
Terakhir, apakah teori Rogers termasuk hemat
dan terbebas dari konsep yang terlalu berai dan bahasa yang sulit? Teori
itu sendiri cukup jelas dan ekonomis, tidak seperti kebanyakan teori tetapi
beberapa bahasa yang digunakan tergolong canggung dan tidak jelas.
Konsep-konsep seperti "pengalaman organismik", "menjadi",
"penghargaan diri yang positif* "kebutuhan untuk memperhatikan
diri" "penerimaan tidak bersyarat" dan "berfungsi
sepenuhnya” terlalu tuas dan tidak akurat untuk mempunyai arti ilmiah. Akan
tetapi, kritik ini hanyalah sesuatu hal yang kecil apabila dibandingkan dengan
keseluruhan kekuatan dan kehematan dari teori yang berpusat pada pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling
and Psycotherapy. Thomson Higher Education: USA
Feist, Jest & Gregory, J. Feist. 2011.
Theories of Personality. McGraw Hill : New York
Hall, S. Calvin & Gardner Lindzey.
1978. Theories of Personality (Third Edition). John Wiley & Sons : USA
Komentar
Posting Komentar