PSIKOLOGI EKSISTENSIAL : ROLLO MAY
MAKALAH
PSIKOLOGI EKSISTENSIAL : ROLLO MAY
Disusun
Guna Memenuhi Tugas KelompokMata
Kuliah Teori
Kepribadian
Dosen pengampu : Dr. Anwar Sutoyo, M.Pd &Dr. Awalya, M.Pd
Oleh:
Miftakhul
Khabibi (010651804)
Gesha
Narulita (0106518058)
Intan
Yuli Riskiyanti (0106518066)
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tidak lama setelah Perang Dunia ke-II, aliran psikologi
baru-psikologi ektensial- mulai menyebar dari Eropa hingga ke Amerika Serikat.
Psikologi Ektensial berakar filosofi Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzche,
Martin Heidegger, Jean-paul Sartre, dan filsuf-filsuf Eropa lainnya. Psikolog
dan psikiater ekstensial pertama juga berasal dari Eropa, termasuk Ludwig Binswanger,
Medard Boss, Victor Frankl, dan lainnya.
Selama hampir 50 tahun, pembicara psikologi ekstensial
yang terdepan di Amerika Serikat adalah Rollo May. Selama bertahun-tahn menjadi
terapis. May telah membangun sudut pandang yang baru mengenai manusia.
Pendekatannya tidak disadari oleh penelitian ilmiah yang terkontrol, namun
berdasarkan pengalaman klinis, ia melihat manusia tinggal dalam dunia yang
penuh dengan pengalaman masa kini, dan akhirnya bertanggung jawab terhadap diri
mereka selanjutnya. Pandangan tajam dan analisis mendalam May atas kondisi
manusia menjadikannya penulis yang populer di kalangan orang awam, juga para
psikolog profesional.
Psikologi
eksistensial diawali dari tulisan-tulisan karya Soren Kierkegaad yang merupakan
seorang filsuf dan teolog dari Jerman. Kierkegaad memandang manusia bukanlah
sebuah objek dan menentang persepsi subjek sebagai satu-satunya realita yang
dimiliki manusia. Kierkegaad menekankan bahwa manusia harus memiliki
keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Artinya manusia memiliki
kebebasan dalam bertindak dengan memperluas kesadaran dirinya dan mengambil
tanggung jawab atas tindakannya. Untuk mendapatkan kebebasan dan tanggung jawab
manusia harus melepas kecemasannya dan bertanggung jawab atas takdirnya serta
merasakan beban dari kebebasan dan rasa sakit dari tanggung jawabnya. Tapi Rollo May adalah adalah tokoh yang aling
bertanggung jawab memadukan filsafat eksistensialisme Eropa itu ke dalam psikologi
Amerika (Olson, 2013:883).
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas,
maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah biografiRollo May sebagai
pengembang dari teori eksistensial?
2.
Apa saja prinsip-prinsip dari teori eksistensial?
3.
Bagaimana latar belakang dari konsep
eksistensialisme?
4.
Apa saja konsep-konsep teori
eksistensial?
5.
Bagaimana implikasi dari teori
eksistensial?
6.
Apa saja riset yang berkaitan dengan
teori eksistensial?
7.
Bagaimana kritikan dan nilai dari teori
eksistensial?
C. Tujuan
Sesuai
dengan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang dikemukakan di atas,
maka tujuan penyusunan
makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.
BiografiRollo May sebagai pengembang
dari teori eksistensial
2.
Prinsip-prinsip dari teori eksistensial
3.
Latar belakang dari konsep eksistensialisme
4.
Konsep-konsep teori eksistensial
5.
Implikasi dari teori eksistensial
6.
Riset yang berkaitan dengan teori
eksistensial
7.
Kritikan dan nilai dari teori
eksistensial
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFIROLLO MAY
Rollo
Reese May lahir tanggal 21 April 1909 di Ohio dan merupakan anak laki-laki
pertama pasangan Earl Tittle May dan Matie Boughton May. Keluarga May bukanlah
keluarga dengan tingkat pendidikan dan intelektual tinggi, ayahnya bekerja
sebagai sekretaris di Young Men’s Christian Association dan ibunya sibuk merawat
dirinya sendiri. Saat May masih kecil, keluarganya pindah ke Marine City,
Michigan dan ditempat inilah May menghabiskan masa kecilnya. Selama di Marine
City, May banyak menghabiskan waktu di pinggiran sungai St. Claire untuk
menghilangkan rasa sepi dan melarikan diri dari konflik keluarganya.
May
melanjutkan studi di Michigan State University jurusan bahasa Inggris tetapi
May dikeluarkan dari kampus karena menjadi editor di sebuah majalah radikal.
Kemudian, May pindah ke Oberlin College
di Ohio dan mendapatkan gelar sarjana tahun 1930. Tiga tahun berikutnya, May
berkerja sebagai tutor bahasa Inggris di Anantolia College, Saloniki dan
menjadi seniman jalanan di daerah Eropa Timur dan Selatan. Setahun kemudian,
May mulai merasa bosan dan memutuskan untuk menjadi guru namun tak lama
kemudian May berhenti. Selama di Eropa, May mengikuti seminar yang diadakan
oleh Adler di penginapan di atas pegunungan Viena pada tahun 1932. Semenjak
itu, May mengagumi Adler dan belajar tentang perilaku manusia dan dirinya
sendiri.
Tahun
1933, May kembali ke Amerika dan bergabung dengan seminary Union Theological New York. Salah satu
peserta seminari ini adalah Rogers tetapi berbeda dengan Rogers yang ingin
menjadi pastor, May mengikuti seminari ini karena ingin mencari tahu tentang
sifat alamiah
manusia. Selama mengikuti seminari, May bertemu dengan Paul Tillich yaitu
seorang filsuf dan teolog eksistensial Jerman. Dari Tillich-lah May belajar
tentang filsafat dan berteman selama lebih dari 30 tahun. Pada tahun 1938, May
mendapat gelar master dibidang teologi dan menjadi pastor selama dua tahun
meskipun awalnya May tidak berniat menjadi pastor. Selanjutnya May belajar
tentang psikologi terutama tentang psikoanalisa di William Alanson White
Institute of Psychoanalysis and Psychology. Pada saat yang sama May menjadi
konselor di City College of New York dan berteman dengan Sullivan dan Fromm.
Pada tahun 1939, May menderita penyakit tuberculosis dan
menghabiskan 3 tahun di Saranae Sanitarium, New York. Pada saat inilah, May
mengembangkan suatu pandangan tentang sifat alami dari penyakit dimana suatu
penyakit mengambil keuntungan dari perasaan tidak berdaya dan sikap positif
manusia. Artinya individu yang menerima secara pasrah penyakitnya memiliki
kecenderungan untuk meninggal sedangkan individu yang berjuang melawan
penyakitnya cenderung mampu bertahan hidup. Maka untuk bisa sembuh maka manusia
harus menjadi partisipan aktif dalam pengobatannya.
Tahun 1946, May membuka praktik sendiri dan bergabung
dengan William Alanson White Institute pada tahun 1948. Selama masa pemulihan
yaitu sekitar tahun 1949, May mendapatkan gelar Ph.D., bidang psikologi klinis
dari Colombia University dari hasil tulisannya tentang kecemasan yang diilhami
dari karya Freud dan Soren Kierkegaad (teolog dan filsuf eksistensial Denmark).
Dalam disertasinya yang berjudul ‘The Meaning of Anxiety’ menjelaskan bahwa
kecemasan merupakan suatu usaha untuk menghadapi non-being atau kehilangan
kesadaran. Setelah itu, May bekerja sebagai asisten psikiatri di William Alanson
White Institute dan menjadi seorang penulis buku. Buku keduanya dipublikasikan
pada tahun 1953 dengan judul ‘Man’s Search for Himself’’ kemudian May
berkolaborasi dengan Ernest Angel dan Hendri Ellenberger dalam menerbitkan
‘Existence: A New Dimension of Psychiatry and Psychology’ yang menjelaskan
tentang konsep terapi eksistensial.
Pada tahun 1969, May bercerai dengan istri pertamanya
yaitu Florence DeFrees setelah 30 tahun menikah dan mempunyai 3 anak yaitu
Robert dan putri kembarnya Allegra dan Carolyn. Selanjutnya, May menikah dengan
Inggrid Kepler Scholl yang diakhiri dengan perceraian. May meninggal pada
tanggal 22 Oktober 1994 di Tiburon, California dan meninggalkan istri ketiganya
yaitu Gergia Lee Miller Johnson dan 3 anaknya dari istri pertamanya. Selama
karirnya, May telah bekerja sebagai professor tamu di berbagai institusi
seperti Harvard, Princenton, dan lain-lain. Selain itu, May juga menjadi
professor pembantu di New York University.
B. PRINSIP-PRINSIP
Konsep
dasar dari teori eksistensial merupakan konsep yang mendasari semua
konsep-konsep eksistensial berikutnya. Dalam konsep dasar ini terdapat dua hal
yaitu:
1. Being
In The World
Istilah
Being In The World dalam bahasa
Indonesia lebih tepat dimaknai sebagai hadir dalam dunia karena makna “being” dalam tata bahasa Inggris berarti
present atau yang sekarang. Being in
the world bisa dikatakan jugaDasein(bahasa
Jerman), diartikan sebagai ‘ada di sana’ (Da
+ di sana; sein = ada) (Olson,
2013:889). Seacar bebas diartikan persatuan dasar dari manusia dan
lingkungannya atau kesatuan antara subjek dan objek. Banyak individu yang
merasa sedih dan cemas disebakan adanya alienasi dari dalam diri atau dunia
mereka. Sehingga mereka tidak memiliki gambaran yang jelas akan dirinya dan
merasa terisolasi dari dunianya. Alienasi dimanifestasikan dalam tiga area
yaitu a) keterpisahan dari alam; b) kurangnya hubungan interpersonal yang
bermakna; dan c) keterasingan dari diri yang autentik. Ada tiga bentuk Being In The World yaitu Umwelt,
Mitmel, dan Eigenwelt yang akan dijelaskan pada konsep berikutnya. Individu
dikatakan sehat apabila hidup dalam ketiga bentuk Being In The World yang ditandai dengan kemampuan beradaptasi
dengan dunia alam, berhubungan dengan orang lain sebagai manusia, dan
kesadarran akan antusia atas apa arti dari semua pengalaman.
2.
Non Being
Non Being merupakan
kebalikan dari Being In The World
dimana Non Being merupakan kehampaan
atau ketakutan akan ketiadaan yang diakibatkan oleh kesadaran manusia. Bentuk
dari Non Being adalah kematian,
kecanduan alcohol dan obat-obatan, aktivitas seksual yang bebas, perilaku
kompulsif, konformitas buta atas ekspektasi masyarakat, sikap permusuhan,
perilaku merusak, dan sebagainya. Non
Being menyebabkan individu hidup secara defensive dan menerima sedikit
kehidupan dan untuk mengatasi Non Being, individu
dapat meredupkan kesadaran diri dan menyangkal individualitasnya yang berarti
akan membuat individu sedih dan kosong. Alternatif lainnya adalah menghadapi
kematian sebagai hal yang tidak dapat dihindari dan menyadari bahwa Non Being merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan manusia.
C. LATAR BELAKANG EKSISTENSIALISME
Psikologi
eksistensial diawali dari tulisan-tulisan karya Soren Kierkegaad yang merupakan
seorang filsuf dan teolog dari Jerman. Kierkegaad memandang manusia bukanlah
sebuah objek dan menentang persepsi subjek sebagai satu-satunya realita yang
dimiliki manusia. Kierkegaad menekankan bahwa manusia harus memiliki
keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Artinya manusia memiliki kebebasan
dalam bertindak dengan memperluas kesadaran dirinya dan mengambil tanggung
jawab atas tindakannya. Untuk mendapatkan kebebasan dan tanggung jawab manusia
harus melepas kecemasannya dan bertanggung jawab atas takdirnya serta merasakan
beban dari kebebasan dan rasa sakit dari tanggung jawabnya.
Pandangan
Kierkegaad tersebut mempengaruhi beberapa filsuf diantaranya adalah Freidrich
Bietzche dan Martin Heidegger. Keduanya membantu memopulerkan konsep
eksistensial dalam abad ke 20 dan ikut mempengaruhi beberapa psikiater Swiss
diantaranya Ludwig Binswanger, Medard Boss, Karl Japster, Victor Frankl dan
lain-lain. Pengaruh eksistensial juga terjadi pada dunia seni dan karya penulis
seperti Jean Paul Sartre, Algeria Comus, Martin Buber, Paul Tillich dan sebagainya.
Setelah Perang Dunia II, eksistensial mulai mempengaruhi benua Amerika dalam
berbagai bidang seperti seni, agama, karya tulis, dan sebagainya.
Ada
beberapa kesamaan elemen yang dimiliki pemikir eksistensialis diantaranya
adalah:
a.
Eksistensi
ada sebelum esensi yang diartikan sebagai eksistensi
diartikan adalah proses sedangkan esensi adalah produk. Para eksistensialis
menyatakan bahwa esensi manusia adalah kekuatan yang berkesinambungan dalam
mendefinisikan diri mereka melalui pilihan yang dibuatnya.
b.
Eksistensialisme
menentang permisahan subjek dengan objekyang diartikan sebagai
manusia merupakan objek dan subjek yang mencari kebenaran hidup dalam kehidupan
yang aktif dan autentik
c.
Manusia
mencari arti dari kehidupan.
1.
Para eksistensialis berpendapat bahwa akhirnya
setiap manusia bertanggung jawab atas siapa dirinya dan akan menjadi apa
2.
Para eksistensialis pada dasarnya
antiteoretis
D.
KONSEP-KONSEP
TEORI EKSISTENSIAL
1.
Konsep Kecemasan
Dalam
The Meaning of Anxiety, May
menyatakan bahwa banyak perilaku manusia memiliki motivasi dari landasan rasa
takut dan kecemasan. Manusia mengalami kecemasan saat mereka sadar bahwa
eksistensinya atau beberapa nilai yang mereka anut terancam hancur atau rusak.
May mendefinisikan kecemasan sebagai “kondisi subjektif ketika seseorang
menyadari bahwa eksistensinya dapat dihancurkan dan ia dapat menjadi ‘bukan
apa-apa’ (nothing)”.
Kecemasan
kemudian dapat muncul dari kesadaran atas nonbeing
seseorang atau dari ancaman atas nilai-nilai yang dianggap penting untuk
eksistensi seseorang. Sehingga, kecemasan ada saat seseorang menghadapi masalah
pemenuhan potensi dan hal tersebut dapat berakibat stagnasi dan kehancuran,
namun juga dapat berakibat pada pertumbuhan dan perubahan. Dan kecemasan, dapat
dibagi menjadi 2, yaitu kecemasan normal dan kecemasan neurotik.
a.
Kecemasan normal
Kecemasan
konstruktif atau kecemasan normal akan dialami oleh seseorang agar nilai-nilai
seseorang dapat tumbuh dan berubah. Hal ini karena semua pertumbuhan selalu
meliputi pelepasan nilai-nilai lama yang dapat menyebabkan kecemasan, dan tidak
ada satu orang pun yang dapat menghindari dampak dari kecemasan yang timbul.
Sehingga, kecemasan normal dapat dialami pada momen-momen kreatif saat seniman,
ilmuwan atau filsuf yang tiba-tiba mendapatkan penmahaman yang berujung pada
kesadaran bahwa kehidupan seseorang dan mungkin kehidupan dari orang-orang lain
yang tidak terhitung akan berubah secara permanen.
Kecemasan
normal adalah tipe kecemasan yang dialami selam periode pertumbuhan atau ketika
nilai-nilai seseorang terancam dan yang pasti dialami oleh semua orang, namun
hal ini apabila kecemasan selalu proposional dengan ancaman. Apabila kecemasan
tersebut tidak proposional dengan ancaman yang ada terjadi adalah neurotik.
b.
Kecemasan neurotic
May
(dalam Feist&Feist, 2011: 53) mendefinisikan bahwa kecemasan neurotik
sebagai reaksi yang tidak proposional atas suatu ancaman yang meliputi represi
dan bentuk-bentuk lain dari konflik intrapsikis yang dikelola oleh berbagai
macam bentuk pemblokiran aktivitas dan kesadaran. Sehingga, apabila kecemasan
normal dirasakan saat nilai-nilai terancam, kecemasan neurotik dialami saat
nilai mulai diubah menjadi sebuah dogma.
Dogma
tersebut dilakukan agar menjadi sangat benar dalam keyakinan seseorang,
memberikan rasa aman yang sementara namun rasa aman tersebut “dibeli” dengan
melepaskan kesempatan (seseorang) untuk belajar hal baru dan perkembangan yang
juga baru.
2.
Konsep Rasa Bersalah
Kecemasan
mulai muncul dan bangkit saat manusia dihadapkan dengan masalah pemenuhan
potensi mereka, dan rasa bersalah muncul saat manusia menyangkal potensinya,
gagal melihat secara akurat kebutuhan dari sesamanya atau lupa akan
ketergantungan dengan alam. Kecemasan dan rasa bersalah bersifat ontologis
yaitu merujuk pada sifat alamiah dari suatu keadaan dan bukan perasaan yang
muncul dari situasi atau pelanggaran yang spesifik.
Secara
keseluruhan, May mengidentifikasikan tiga bentuk perasaan ontologis yang
masing-masing berkorelasi dengan tiap bentuk being-in-the world, yaitu Umwelt adalah rasa bersalah karena hasil
keterpisahan dengan alam, dalam konsep ini sama dengan gagasan Fromm mengenai
dilemma manusia.
Mitwelt
muncul karena ketidakmampuan untuk secara akurat melihat dunia orang lain. Hal
ini tentunya muncul karena diri kita hanya melihat dari sudut pandang diri kita
tanpa melihat kebutuhan orang lain, tentunya hal ini akan berdampak pada rasa
bersalah yang berujung pada hubungan yang tidak baik dengan orang lain, namun
menurut May hal ini bukan suatu masalah kegagalan moral, karena hal ini adalah
hasil yang tidak dapat dihindari dari kenyataan masing-masing orang adalah
individu yang berbeda dan terpisah serta tidak mempunyai pilihan selain melihat
dunia melalui sudut pandang masing-masing.
Eigewelt
yaitu tasa bersalah berdasarkan dengan hubungan dengan diri kita sendiri,
karena hal ini diasosiasikan dengan penyangkalan atas potensi yang dimiliki dan
kegagalan untuk memenuhinya. Seperti kecemasan, rasa bersalah ontologis juga
memiliki dampak negative maupun positif pada kepribadian. Jika mampu untuk
mengembangkan secara positif, maka dapat mengembangkan rasa rendah hati yang
sehat, dan meningkatkan hubungan dengan orang lain dan menggunakan secara
kreatif potensi-potensi yang dimiliki, namun jika tidak akan berdampak
gejala-gejala non-produktif atau neurotik seperti impotensi seksual, depresi,
kekejaman pada orang lain atau ketidakmampuan untuk membuat pilihan.
3.
Konsep Perhatian, Cinta dan Kehendak
Untuk
peduli pada seseorang berarti untuk menganggap orang tersebut sebagai sesama
manusia dengan mengidentifikasi diri dengan rasa sakit dan kesenangan serta
rasa bersalah atau rasa kasihan orang tersebut hal ini karena kepeduliaan
merupakan suatu proses aktif, kebalikan dari rasa apatis. Sehingga, kepeduliaan
merupakan kondisi ketika sesuatu benar-benar berarti.
Kepeduliaan
tidak sama dengan cinta, namun bersumber dari cinta. Karena untuk mencintai,
seseorang harus perduli untuk menyadari kemanusiaan esensial dari orang lain
untuk menghormati perkembangan orang tersebut dengan aktif. Selain itu, May
mendefinisikan cinta sebagai perasaan bahagia terhadap kebahagiaan orang lain
dan menegaskan nilai serta perkembangan (dari orang lain tersebut) seperti
miliki kita sendiri. Tanpa kepedulian tidak mungkin ada cinta, yang ada
sentimental kosong atau rangsangan seksual yang sementara, dan kepedulian juga merupakan
sumber dari keinginan.
May
menyebutkan keinginan sebagai kapasitas untuk mengatur diri seseorang supaya
pergerakan dalam arah tertentu atau menuju suatu sasaran tertentu dapat
terjadi. Namun pada masyarakat modern mulai menderita suatu perpisahan antara
cinta dan keinginan yang tidak sehat. Cinta telah diasosiasikan dengan cinta
yang sensual atau seks, sedangkan keinginan telah berubah arti menjadi tekad
yang mantap atau kekuatan dari kemauan. Padahal, terdapat alasan-alasan
biologis mengapa cinta dan keinginan berbeda. Contohnya adalah saat anak
manusia hadir di dunia dimana mereka menjadi satu dengan semesta (umwelt), ibu
mereka (mitwelt), dan diri mereka sendiri (Eigenwelt).
Menurut
May, tugas seseorang adalah untuk mempersatukan cinta dan keinginan, namun hal
ini tentunya tidaklah mudah. Untuk seseorang yang dewasa, baik cinta dan
keinginan berarti berusaha menggapai terhadap orang lain, keduanya meliputi
kepedulian, menuntut pilihan, mengimplikasi tindakan dan membutuhkan tanggung
jawab. Sehingga, May mengidentifikasi empat macam cinta dalam tradisi Barat,
yaitu:
a.
Seks
Seks
adalah fungsi biologis yang dapat dipuaskan melalui hubungan seksual atau cara
melepaskan tekanan seksual lainnya. May (dalam Feist&FEist) percaya bahwa
pada zaman dahulu seks sering diabaikan namun pada masyarakat Barat modern
sekarang seks telah menjadi suatu permasalahan dimana pada zaman dahulu ketika
melakukan hubungan seks membuat seseorang penuh dengan rasa bersalah dan
kecemasan namun pada saat sekarang ketika tidak melakukan hubungan seks akan
mengakibatkan perasaan bersalah dan kecemasan.
b.
Eros
Di
Amerika Serikat, seks sering tidak dapat dibedakan dengan Eros. Seks adalah
kebutuhan psikologis yang mencari kepuasan dengan pelepasan tekanan sedangkan
eros adalah hasrat psikologis yang mencari untuk menghasilkan keturunan atau
kreasi lewat persatuan dengan orang lain yang dicintai. Eros dibangun dengan
kepedulian dan kelembutan karena eros mendambakan untuk membangun suatu
persatuan yang bertahan dengan orang lain yaitu ketika kedua partner mengalami
kebahagiaan dan hasrat yang mendalam serta keduanya merasa diperluas dan
diperdalam oleh pengalaman tersebut. Oleh karena itu, Eros dianggap sebagai
penyelamat dari seks karena spesies manusia tidak mampu untuk bertahan tanpa
adanya hasrat untuk suatu persatuan yang bertahan lama.
c.
Philia
Eros
sebagai penyelamat dari seks dibangun dengan landasan Philia yaitu hubungan pertemanan yang intim di antara dua orang
namun nonseksual, sehingga philia tidak
dapat diburu-buru, membutuhkan waktu untuk tumbuh dan berkembang dan mengakar.
Philia tidak menuntut untuk berbuat apa-apa pada orang yang kita cintai selain
menerimanya, mendampinginya dan menimati bersamanya, karena hal ini merupakan
pertemanan dalam bentuk yang paling sederhana dan paling langsung. Philia merupakan prasyarat penting untuk
menuju hubungan erotis yang sehat selama masa remaja awal dan remaja akhir,
karena philia menjalani persatuan antara dua manusia dengan perkembangan yang
bertahan dan tidak terburu-buru.
d.
Agape
Sebagaimana
eros bergantung pada philia, seperti itulah philia membutuhkan agape. May (dalam Feist&Feist, 2011:
59) mendefinisikan agape sebagai penghargaan untuk orang lain, kepeduliaan atas
kesejahteraan orang lain yang melebihi keuntungan apapun yang dapat diperoleh
seseorang dari hal tersebut, cinta yang tidak terkecuali seperti cinta Tuhan
pada manusia. Agape adalah cinta yang altruis yaitu bentuk cinta spiritual yang
membawa risiko seseorang bertindak seolah-olah ia adalah Tuhan. Cinta ini tidak
memedulikan perilaku atau karakteristik dari orang lain sehingga dalam hal ini
agape seakan terasa berlebih dan tidak bersyarat.
4.
Konsep Kebebasan dan Takdir
Campuran
dari keempat bentuk cinta membutuhkan penegasan diri dan afirmasi dari orang
lain. Selain itu, membutuhkan pula penegasan atas kebebasan seseorang dan
konfrontasi atas takdir seseorang. Kebebasan didefinisikan sebagai kapasitas
seseorang untuk mengetahui bahwa ia adalah orang yang menentukan, kata
“menentukan” ini bersinonim dengan apa yang nantinya disebut sebagai takdir.
Kebebasan datang dari pemahaman akan takdir kita. Sehingga, kebebasan dibagi
dengan dua bentuk, yaitu:
a.
Kebebasan untuk melakukan (freedom of doing) yang dapat disebut
dengan kebebasan eksistensial dimana merupakan suatu kebebasan untuk bertindak
atas pilihan yang dibuat oleh seseorang.
b.
Kebebasan untuk menjadi (freedom of being) juga dapat disebut
sebagai kebebasan esensial. Hal ini karena kebebasan untuk bertindak, untuk
bergerak tidak selalu menjamin untuk mencapai kebebasan untuk menjadi, ini
disebabkan seseorang terkadang lebih berkonsentrasi dan terfokus pada kebebasan
esensial dibandingkan dengan kebebasan untuk melakukan sesuatu.
Di
lain sisi, takdir dapat didefinisikan sebagai rancangan dari alam semesta yang
berbicara lewat rancangan dari masing-masing kita. Takdir kita yang utama
adalah kematian, namun dalam skala yang lebih kecil, takdir mencakup
karakteristik biologis lainnya seperti intelegensi, gender, ukuran dan kekuatan
serta predisposisi genetic atas kecenderungan dari beberapa penyakit.
Takdir
tidak berarti telah ditentukan sebelumnya atau dituliskan sebelumnya, namun
takdir menurut May merupakan tujuan kita, terminal kita, dan target kita. Di
dalam batasan takdir, kita memiliki kekuatan untuk memilih serta kekuatan ini
membuat kita mampu untuk menghadapi dan menantang takdir kita, namun tidak
berarti semua yang kita perubahan yang kita inginkan dapat terjadi. Sehingga,
kita tidak dapat menghapus takdir kita tetapi kita dapat memilih bagaimana kita
akan beraksi dan menghidupkan bakat yang ada di hadapan kita. Oleh karena itu,
keinginan dan takdir saling terikat dengan sangat kuat dimana yang satu tidak
aka nada tanpa yang lain.
5.
Konsep Kekuatan Mitos
May
selama bertahun-tahun memperhatikan kekuatan dari mitos pada individu dan
budaya, namun pada peradaban orang-orang di Barat mempunyai kebutuhan yang
mendesak oleh mitos karena kekurangan mitos kurang dapat dipercaya sehingga
mereka berpaling pada kultus agama, ketergantungan obat-obatan dan budaya popular
dalam usaha yang sia-sia untuk menemukan arti dalam hidup mereka. Mitos
bukanlah hal yang salah, namun merupakan system kepercayaan yang disadari dan
tidak disadari yang memberikan penjelasan atas permasalahan sosial dan pribadi.
Mitos
adalah cerita-cerita yang menyatukan masyarakat karena dari sini manusia
menemukan arti dari hidup mereka dengan manusia lain dalam kebudayaan yang
sama. Karena May percaya bahwa manusia berkomunikasi satu sama yang lain dengan
dua level, yaitu melalu bahasa rasionalisme dan melalui mitos. Manusia
menggunakan mitos dan symbol untuk melihat lebih jauh daripada situasi konkret
yang baru terjadi, memperluas kesadaran diri dan mencari identitas.
May
percaya bahwa mitos yang sangat kuat dalam budaya kita adalah Oedipus karena
mengandung elemen-elemen dari krisis eksistensial yang umum meliputi (1)
kelahiran, (2) perpisahan atau pengasingan dari orangtua dan rumah, (3)
persatuan seksual dengan salah satu orangtua dan permusuhan dengan yang
lainnya, (4) penegasan dari kemandirian dan pencarian identitas, serta (5)
kematian. Sehingga, seperti arketipe dalam gambaran Carl Jung, mitos dapat
berkontribusi dalam pertumbuhan psikologis apabila seseorang menerima dan
membiarkan mitos membuka kenyataan yang baru. Namun, banyak orang yang
menyangkal mitos yang beresiko psikopatologi yang merupakan komposisi utama.
E. PSIKOPATOLOGI
Menurut
May, sikap apatis dan kekosongan, bukan kecemasan dan rasa bersalah adalah
penyakit dari zaman modern. Dimana May memandang psikopatologi sebagai kurangnya
komunikasi dan ketidakmampuan untuk mengetahui orang lain dan untuk membagi
diri kita dengan mereka. Orang yang terganggu secara psikologis, menyangkal
takdir mereka sehingga mereka kehilangan kebebasannya. Mereka mengembangkan
gejala-gejala neurotik, tidak untuk mendapatkan kebebasan mereka, tetapi untuk
melepaskan. Gejala-gejala itu mempersempit dunia fenomenologis mereka sampai
pada suatu ukuran yang akan membuat coping
lebih mudah bagi mereka. Orang yang kompulsif mengadopsi rutinitas yang ketat,
sehingga membuat pilihan-pilihan baru menjadi tidak penting atau tidak
dibutuhkan.
Tentunya
hal ini merupakan suatu tanda dari masyarakat modern yang tidak mampu berbuat
apa-apa dan merasa dirinya tidak berdaya dan terasing baik dari orang lain
terutama dari dirinya sendiri. Ketidakmampuan terhadap dirinya dengan keadaan
baik untuk mencegah bencana alam, atau untuk mengubah arah industrialisasi dan
membuat kontak dengan manusia lain secara signifikan mengarah kepada sikap
apatis dan keadaan penurunan kesadaran akibat banyaknya individu yang melakukan
dehumanisasi pada individu lain.
F.
PSIKOTERAPI
Tidak
seperti Freud, Adler, Rogers dan pakar teori kepribadian yang berorientasi
klinis, May tidak membangun aliran psikoterapi dengan pengikut yang kuat dan
teknik yang dapat dibedakan. Walaupun begitu, ia banyak menulis mengenai
psikoterapi, menolak gagasan bahwa psikoterapi harus menurunkan kecemasan dan
menghilangkan perasaan bersalah. Ia malah menyarankan bahwa psikoterapi
seharusnya membuat manusia menjadi lebih manusiawi: membantu mereka memperluas
kesadaran mereka supaya mereka akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk
dapat membuat keputusan (M. H. Hall, 1967). Pilihan-pilihan ini kemudian akan
membawa mereka pada pertumbuhan yang terjadi bersamaan atas kebebasan dan rasa
tanggung jawab.
May
yakin bahwa tujuan psikoterapi adalah untuk membebaskan manusia. Ia berargumen
bahwa perapis yang berkonsentrasi pada gejala-gajala yang dimiliki pasien
kehilangan gambaran yang lebih penting. Gejala-gejala neurotik hanyalah cara
untuk melarikan diri dari kebebasan dan indikasi bahwa kemungkinan-kemungkinan
internal yang dimiliki pasien tidak digunakan. Saat pasien manjadi lebih bebas
dan lebih manusiawi, gejala-gejala
neurotik mereka biasanya akan menghilang, kecemasan neurotik berubah menjadi
kecemasan normal, dan rasa bersalah neurotik digantikan dengan rasa berasalah
yang normal. Akan tetapi, keuntungan-keuntungan ini bukanlah yang utama, dan
bukan tujuan utama dari terapi. May bersikeras bahwa psikoterapi harus lebih fokus
pada membantu orang lain mengalami
eksistensi mereka, dan gejala-gejala yang membebaskan, hanyalah hasil sampingan
dari pengalaman tersebut.
May
(1991) juga mendeskripsikan terapi adalah sebagian agama, sebagian ilmu
penetahuan, dan sebagian hubungan pertemanan. Akan tetapi hubungan pertemanan
di sini bukanlah suatu hubungan sosial yang biasa, melainkan menuntut terapis
untuk menjadi sangat terbuka dan tidak berbasa basi serta untuk menantang
pasien. May yakin bahwa hubungan ini sediri bersifat terapeutik dan dampak
perubahannya tidak berkaitan dengan apapun yang dikatakan oleh terapis ataupun
orientasi teoritis yang mungkin mereka punya.
Tugas
kita adalah untuk menjadi pengarah, teman, dan penerjemah bagi orang-orang
dalam perjalanan mereka melalui neraka-neraka privat mereka dan tempat
mensucikan diri. Secara spesifik, tugas kita adalah menolong pasien untuk
mencapai titik dimana mereka dapat memutuskan apakah mereka ingin tetap menjadi
korban... atau apakah mereka memilih untuk meninggalkan kondisi-korban ini
serta menjelajahi tempat mensucikan diri dengan harapan untuk mendapatkan
sedikit rasa surga. Dapat dimklumi apabila pasien kita sering kali, menjelang
akhir, merasa takut atas kemingkinan dari kebebasan memilih untuk dirinya
sendiri, apakah mereka akan mengambil kesemptan dengan menyelesaikan perjalanan
yang sudah mereka mulai dengan berani (May,1991).
Secara
filosifis, May banyak memegang keyakinan-keyankinan yang sama dengan yang di
pegang oleh Carl Rogers. Dasar dari kedua pendekatan tersebut adalah gagasan
atas terapi sebagai pertemuan manusia. Yaitu hubungan “saya-anda” dengan
potensi untuk memfasilitasi pertumbuhan didalam diri terapis dan psien. Akan
tetapi, didalam praktiknya, May akan lebih banyak memberikan pertanyaan, untuk
masuk ke dalam masa kanak-kanak pasien dan untuk memberi saran atas
kemungkinan-kemungkinan makna dari perilakunya saat itu.
Sebagai
contoh, ia menjelaskan pada Phillip bahwa hubungannya dengan Nicole adalah
suatu usaha untuk bertahan pada ibunya. Rogers pasti akan menolak teknik
tersebut karena lahir dari suatu kerangka rujukan yang eksternal (dari
terapis). Akan tetapi, May yakin bahwa interpretasi seperti ini dapat menjadi
cara efektif untuk membuat pasien berhadapan dengan informasi yang mereka
sembunyikan dari diri mereka sendiri.
Teknik
lain yang di gunakan pada Phillip adalah gagasan agar Phillip membuat suatu
percakapan fantasi dengan ibunya yang sudah meninggal. Dalam percakapan ini,
Phillip akan berbicara untuk dirinya sendiri dan untuk ibunya. Saat berbicara dengan
ibunya, untuk pertama kalinya ia dapat berempati dengan ibunya, untuk dapat
melihat Phillip dari sudut pandang ibu. Saat berbicara sebagai ibunya, ia
berkata bahwa ia sangat bangga dengan Phillip dan bahwa selama ini ia adalah
anak yang paling disukainya. Saat berbicara sebagai dirinya sendiri, ia
memberitahu ibunya bahwa ia sangat menghargai keberaniannya dan mengingat suatu
insiden saat keberaniannya menyelamatkan kemampuan Phillip untuk melihat. Saat
Phillip selesai dengan percakapan fantasinya, ia berkata, “tidak pernah
sekalipun dalam ribuan tahun saya membayangkan bahwa hal tersebut akan terucap”
(May, 1981).
May
juga meminta Phillip untuk membawa foto dirinya saat masih kecil. Phillip
kemudian melakukan percakapan fantasi dengan “Phillip kecil”. Saat percakapan
terjadi, “Phillip kecil” menjelaskan bahwa ia telah berhasil mengatasi masalah
menjadi hal yang paling mneganggu bagi Phillip dewasa, yaitu ketaj=kutan akan
di tinggalkan. “Phillip kecil” telah menjadi teman Phillip yang bersahabat dan membantunya
mengatasi rasa kesepiannya serta menghalau kecemburuannya pada Nicole.
Diakhir
terapi, Phillip tidak berubah menjadi orang yang baru, tetapi menjadi lebih
sadar akan bagian-bagian dari dirinya yang telah ada selama ini. Kesadaran akan
kemungkinan-kemungkinan baru membuatnya maju dengan arahan menuju kebebasan
personal. Untuk Phillip, akhir dari terapi
merupakan awal mula dari “persatuan dirinya dengan diri awalnya yang
telah terkunci di sebuah ruang bawah tanah, untuk dapat bertahan saat hidup tidak
membahagiakan, tetapi mengancam” (May, 1981).
G. RISET TERKAIT
Teori
eksistensial Rollo May telah cukup berpengaruh sebagai metode psikoterapi,
tetapi ia tidak menghasilkan secara langsung penelitian-penelitian empiris. Hal
ini tidak dapat di ragukan karena sikap kritis yang di adopsi May terhadap
pengukuran objektif dan kuantitatif. Teori apapun yang menekankan pada hubungan
antara subjek dan objek serta keunikkan dari setiap individu, tidak akan
menjadi kondusif bagi penelitian dengan sampel basar dan desain penelitian
eksperimental atau dengan menggunakan kuesioner. Bahkan, May melontarkan
argumen bahwa ilmu pengetahuan modern menjadi terlalu rasional, terlalu
objektif, dan sebuh ilmu pengetahuan baru di butuhkan untuk dapat menangkap
manusia secara total.
Satu
topik eksistensial yang menerima cukup banyak perhatian adalah kecemasan
eksistensial. May (1961) mendefinisikan kecemasan sebagai “ketakutan yang
timbul dari suatu ancaman terhadap nilai-nilai yang dianut individu dan di
anggap penting untuk eksistensinya sebagai diri (self)”. Saat suatu kejadian
mengancam eksistensi fisik atau psikologis, kita mengalami kecemasan
eksistensial, dan yang paling kuat diantara ancaman-ancaman tersebut adalah
kematian. May dan Yalom (1989) berargumen bahwa “tugas perkembangan terbesar
adalah untuk menghadapi teror dari kehancuran”. Dalam hal tersebut, adalah
suatu proses mengatasi dan menghadapi kematian.
Pendekatan
eksistensial untuk penelitian tentang teror dan kematian telah membawa
“manajemen teror”, suatu cabang eksperimental modern dari psikologi
eksistensial. Jembatan konseptual antara psikologi eksistensial dan teori
manajemen teror dikembangkan oleh psikiater dari Amerika bernama Ernest Becker,
yang terinspirasi oleh Kierkergaard
dan Otto Rank. Argumen dasar dari para eksistensialis (dan juga penulis seperti
Camus dan Sartre) adalah manusia pertama dan utamanya termotivasi oleh rasa
takut akan kematian. Bahkan, kebanyakkan dari pemikir ini melihat kreativitas,
budaya dan arti dari manusia adalah sebagai pertahanan tidak sadar atas
kefanaan. Hasil pekerjaan Becker, khususnya telah menjadi sumber inspirasi yang
terbesar untuk pakar teori manajemen teror.
1. Pentingnya Kematian dan Penyangkalan atas Dasar
Kebinatangan Kita
Teori
manajemen teror telah menggunakan asumsi dasar ini serta mengujinya dengan
melakukan penelitian eksperimental yang lebih canggih dan dirancang dengan baik
di dalam psikologi sosial dan kepribadian masa kini. Walaupun manusia merupakan
bagian dari kerajaan binatang dan tidak bersifat kekal (fana), mereka unik
dalam pemahaman mereka akan dunia dan dalam keunikan mereka masing-masing.
Manusia telah lama memercayai bahwa mereka tidak hanya sekadar tubuh-mereka
mempunyai jiwa, semangat, dan pikiran.
Selama
berabad-abad, manusia telah belajar untuk mengingkari diri fisik mereka. Sebagi
contoh, fungsi badani terus menjadi hal yang paling tabuh dan sangat
disangsikan dalam norma sosial. Menurut pakar teori manajeman teror, bagian
terpenting dalam penyangkalan atas dasar badani dan kebinatangan kita barasal
dari rasa takut eksistensial atas kematian dan kehancuran dari tubuh kita.
sebagaimana Sheldon Solomon dan rekannya menjelaskan, “manusia tidak dapat
berfungsi dengan tenang apabila mereka yakin pada dasarnya mereka tidak lebih
penting daripada monyet, kadal dan kacang-kacangan” (Solomon, Greenberg, &
Pyszcznski, 1991).
Jamie
Goldenberg dan kolage membuat sebuh penelitian untuk mengetahui seberepa jauh
menonjolkan kematian dapat berakibat pada meningkatnya penyangkalan atas dasar
kebinatangan kita. lebih spesifiknya, ia memberikan argumen, “budaya
mempromosikan norma untuk membantu membedakan diri mereka dari binatang, karena
perbedaan ini memberikan fungsi psikologis yang sangat penting dengan
memberikan perlindungan melawan perhatian yang sangat mendalam atas kematian”
Goldenberg, Pyszcznski, Greenberg, Solomon, Kluck, & Cornwell, 2001).
Budaya, dalam perspektif ini, adalah mekanisme ketika kesadaran atas kematian
diatur.
Lebih
spesifiknya, pandangan mendunia mengenai budaya (agama, politik, dan norma sosial)
dan harga diri berfungsi sebagai pertahanan melawan pikiran-pikiran tentang
kematian, supaya saat kematian menjadi sangat menonjol dalam bencana, kematian
dari orang yang dicintai, atau gambaran-gambaran kematian, manusia bereaksi
dengan berpegangan semakin erat pada pandangan mendunia mengenai budaya dan
meningkatkan harga diri mereka. Mereka melakukan hal ini dengan, contohnya
menjadi lebih patriotis, berpegangan lebih kuat pada in-group miliknya atau
ingin menghukum dengan lebih kejam mereka yang telah melanggar hukum dan norma
budaya. Selain itu, di dalam emosi yang menunjukan rasa jijik, terlihat paling
jelas pertahanan kultural kita melawan dasar kebinatangan kita. apapun yang
mengingatkan kita pada dasar kebinatangan kita, dan akhirnya pada kematian,
akan direspons dengan rasa jijik yang sangat kuat.
Goldenberg
dan rekannya (2001) tertarik pada dampak kebalikannya: apakah peningkatan
kesadaran akan kematian akan meningkatkan reaksi jijik? Selain itu, mereka juga
ingin mengetahui apakah dampak tersebut dapat meningkat setelah terjadi suatu
penundaan atau pengalih perhatian yang membuat pikiran-pikiran atas kematian
menjadi lebih tidak disadari. Untuk menguji prediksi bahwa kesadaran atas
kematian akan meningkatkan perasaan jijik dan bahwa dampak tersebut dapat
meningkat saat hal tersebut semakin tidak disadari, mereka memanipulasi
pentingnya kematian pada mahasiswa (60% adalah perempuan).
Variabel
hasil dari penelitian tersebut adalah seberapa besar perasaan jijik yang
diekspresikan oleh partisipan dalam sebuh kuesioner. Variabel bebas dari
penelitian ini adalah apakah kematian seseorang ditonjolkan atau tidak, dan
apakah terdapat waktu tunda dalam pengukuran rasa jijik atau tidak. Rasa jijik
diukur dengan skala Disgust Sensitivity, tanpa subskala “kematian” (Haidt,
McCauley, dan Rozin, 1994). Respons diukur melalui skala Likert 9-poin, dan
contoh dari item-item meliputi pernyataan, seperti “anda melihat belatung
diatas sebuah daging ditempat samaph”; saat sya melihat orang lain muntah, itu
membuat saya merasa sangat mual”; dan “hal itu akan mengganggu saya”.
Pikiran-pikiran ntang kematian dibuat menonjol dengan membuat partisipan
menuliskan perasaan yang timbul saat mereka berpikir mengenai kematian mereka
sendiri, mereka juga diminta untuk menuliskan apa yang mungkin terjadi pada
mereka saat mereka mati secara fisik.
Kondisi
netral (tidak menonjol) hanya meminta partisipan untuk menulis apa yang mereka
rasakan saat sedang menonton televisi. Waktu penundaan dimanipulasi dengan
mengikutsertakan permainan kata yang membutuhkan waktu lima menit untuk
dilakukan dan diterapkan pada setengah dari populasi partisipan. Dalam kondisi
yang ditunda, partisipan menuliskan pikirannya (tentang kematian dan tentang
televisi), melakukan permainan kata, dan melakukan pengukuran rasa jijik. Dalam
kondisi langsung, permainan kata dilakukan sebelum tugas menulis tentang
kematian.
Hasil
dari manipulasi mendukung hipotesis. Reaksi rasa jijik terlihat paling besar
setelah kematian dibuat menonjol serta makin besar saat mendapat penundaan
antara penonjolan kematian dan evaluasi rasa jijik. Partisipan dalam kondisi
netral (menonton televisi) dan ditunda menunjukan kadar rasa jijik yang sama
dengan partisipan dalam kondisi penonjolan kematian dan langsung. Goldenberg
dan koleganya menginterpretasikan hasil ini sebagai dukungan atas asumsi dasar
manajemen teror bahwa manusia mengambil jarak dengan binatang karena binatang
mengingatkan mereka pada tubuh fisik mereka dan kematian.
Cathy
Cox dan kolega telah memperluas temuan terkini dari Goldenberg dan koleganya
dengan meneliti suatu tipe spesifik dari reaksi rasa jijik yang berhubungan
dengan dasar kebinatangan: menyesui (breast-feeding) (Cox, Goldenberg, Arndt,
dan Pyszczynski, 2007). Cox dan koleganya menggunakan metode yang sangat mirip
dengan penelitian tentang kematian dan rasa jijik yang sudah dibahas
sebelumnya, yaitu sebagian partisipan kematian dibuat menonjol dan sebagian
lainnya tidak. Akan tetapi, mereka tidak menggunakan metode kontrol dimana
partisipan diminta untuk menuliskan perasaan mereka saat menonton TV, melainkan
meminta patisipan untuk menulis mengenai kecemasan yang berhubungan dengan
kematian (untuk beberapa orang, pemikiran mengenai berbicara didepan umum
merupakan pemikiran yang menimbulkan kecemasan, yang mungkin berbeda denga tipe
kecemasan yang ditimbulkan oleh gambaran tentang kematian).
Apa
yang ditemukan oleh para peneliti mendukung kesimpulan dari penelitian dalam
area ini yang semakin bertambah, yaitu saat kematian dari manusia dibuat
menonjol, manusia cenderung semakin jijik dengan perilaku yang bersifat
kebinatangan seperti menyesui (Cox, Goldenberg, Arndt, dan Pyszczynski, 2007;
Cox, Goldenberg, Pyszczynski, dan Weis, 2007). Penelitian berdasarkan teori
manajemen teror dan sensivitas rasa jijik telah berkembang menjadi hasil kerja
yang mengagumkan, yang menunjukan pada kesimpulan umum bahwa rasa jijik yang
dimikili manusia, terutama rasa jijik yang berhubungan dengan atribut-atribut
manusia yang mengingatkan kita pada dasar kebinatangan kita (seperti menyusui),
berfungsi sebagai pelindung dari ancaman eksistensial yang diberikan oleh
kematian, yang tidak dapat kita hindari.
2. Menjadi Sehat sebagai Pertahanan
Melawan Kesadaran akan Kematian
Apabila
pikiran mengenai kematian sangat menimbulkan kecemasan dan dilawan, seperti
didemonstrasikan oleh hampir semua penelitian tentang manajemen teror,
seseorang dapat berpikir bahwa sudah jelas apabila mereka diingatkan akan
kematian mereka, maka akan termotivasi untuk melakukan hal-hal yang akan
menurunkan kemungkinan untuk mati, antara lain melakukan perilaku sehat seperti
berolahraga.
Seperti
yang tersirat dalam bagian sebulunnya, teori manajeman teror secara aktif
memperdebatkan dua kategori berbeda dalam pertahanan lawan kematian, yang
disebut sadar dan tidak sadar. Pertahanan yang disadari tersebut pula sebagai
pertahanan proksimal dan mengambil bentuk “bukan saya, bukan sekarang” serta
melihat dalam supresi aktif dari pikiran-pikiran tentang kematian, juga
mengambil jarak dan menyangkal kerentanan seseorang. Saat kematian seseorang
secara tidak sadar diaktifkan, maka pertahanan distal akan aktif. Hal yang
termasuk di dalamnya adalah mengidentifikasikan dan mempertahankan keyakinan
dan ideologi kultural serta meningkatkan harga diri seseorang. Berdasarkan
perbedaan antara pertahanan proksimal dan distal, Jamie Ardnt, Jeff Schimel,
dan Jamie Goldenberg (2003) berargumen bahwa keinginan untuk berolahraga
merupakan cara terbaik untuk mempelajari dampak yang berbeda dari dua jenis
pertahanan tersebut.
Keinginan
untuk berolaharaga sudah jelas merupakan pertahanan proksimal karena orang
termotivasi oleh hasrat menjadi sehat dan menghindari penyakit. Selain itu,
keinginan tersebut juga merupakan pertahanan distal karena memperkuat harga diri
dan citra diri (body image).
Untuk
mendukung argumen ini, kesehatan dan penampilan sering menjadi alasan pertama
dan kedua yang diberika dalam survei mengenai mengapa orang memutuskan untuk
berolahraga. Penlitian pertama oleh Arndt dan temannya mengkaji prediksi bahwa
dengan menonjolkan kematian seharusnya akan meningkatkan kedua alasan untuk
berolahraga, yaitu ingin menjadi sehat
dan terlihat lebih menarik (harga diri). Lebih spesifiknya, studi 1 mengkaji
teori pertahanan proksimal (tanpa penundaan) dari olahraga dan studi 2 mengkaji
kombinasi dari pertahanan proksimal dan distal (tertunda). Kedua studi merekrut
partisipan yang merasa bahwa olahraga penting bagi harga diri mereka dan
partisipan yang tidak merasa hal tersebut penting.
Studi
1 merupakan desain 2x2, dengan dua level dari penonjolan kematian (kematian
versus sakit gigi) serta dua level dari harga diri dan kesehatan. Partisipan
adalah mahasiswa (64% perempuan) yang diberitahu bahwa mereka berpasisipasi
dalam suatu penelitian mengenai hubungan antara kepribadian dan kesehatan. Merekan
diberikan satu paket kuesioner untuk diisi, termasuk manipulasi penonjolan
kematian seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya (Cox, Goldenberg, Arndt,
dan Pyszczynski, 2007; Goldenberg, dkk, 2001).
Akan
tetapi, untuk kondisi kontrol pada penelitian ini, mereka diminta menuliskan
tentang rasa sakit yang diasosiasikan dengan prosedur pengecekan gigi yang
minor. Sakit gigi dipilih sebagai kontrol supaya dapat menjadi masukan untuk
sikap negatif umum yang dikaitkan dengan rasa sakit secara fisik. Setelah
manipulasi untuk menonjolkan kematian, semua partisipan kemudian membaca suatu
artikel pendek mengenai bagaiman berolahraga dapat memperpanjang umur dan
mereka diminta menjawab dua pertanyaan mengenai keinginan untuk berolahraga.
Pertanyaan pertama, beberapa sering
mereka akan berolahraga terhadap batasan mereka selama sebulan kedepan. Kedua,
berapa lama (30-160 menit) kegiatan olahraga mereka selanjutnya akan dilakukan.
Respon atas kedua pertanyaan tersebut akan distandardisasi dan ditambahkan
untuk menciptakan pengukuran penuh mengenai keinginan untuk berolahraga.
Hasilnya
menunjukan bahwa penonjolan dari kematian secara langsung meningkatkan
keinginan untuk berolahraga dengan kondisi prosedur perawatan gigi yang
menyakitkan. Kesehatan dan harga diri juga tidak berhubungan dengan keinginan
berolahraga. Interaksi 2x2 antara penonjolan kematian, kesehatan, dan harga
diri tidak sesuai prediksi, juga tidak signifikan. Para penulis beranggapan
bahwa kedua hasil yang tidak signifikan ini merupakan hasil dari informasi
mengenai keuntungan dari berolahraga untuk kesehatan yang diberikan pada semua
orang, sehingga membuat keinginan untuk berolahraga menjadi jawaban yang
diinginkan secara sosial (socially desirable response).
Dengan
manusia pengukuran keinginan untuk tetap sehat setelah penonjolan kematian,
kesehatan sebagia sumber dari harga diri seharusnya memberi dampak pada
keinginan untuk berolahraga. Studi 2 dilakukan untuk mengkaji ide ini dan
mempunyai rancangan yang sama dengan studi 1 (dua level dari penonjolan
kematian serta dua level dari kesehatan dan harga diri). Akan tetapi, studi 2
mempunyai faktor tambahan, yaitu faktor kesegaran: partisipan diukur
keinginannya untuk tetap sehat segera setelah manipulasi penonjolan kematian
atau setelah penundaan yang singakat. Oleh karena itu, studi kedua adalah
replikasi dan perluasan dari yang pertama serta dihasilkan dalam desain 2 x 2 x
2. Sekali lagi, partisipn dalam penelitian ini adalah mahasiswa (50% wanita).
Perbedaan utama dalam prosedur dan pengukuran dari studi 1 adalah
pengikutsertaan tugas pengisi, yaitu membaca (lima halaman yang membosankan
dari karya Camus yang tidak mempunyai rujukan apapun pada kematian atau masalah
eksistensial lainnya) untuk kelompok yang diberi penundaan.
Dengan
perkataan lain, setelah manipulasi penenjolan kematian atau prosedur perawatan
gigi, partisipan dimunta antara membaca bagian dari karya Camus atau langsung
menjawab kuesioner keinginan berolahraga yang lebih terelaborasi, yang meliputi
sembilan pertanyaan, bukan lagi hanya dua pertanyaan. Setelah analisis faktor
mengungkap bahwa dua dari sembilan pertanyaan keinginan berolahraga tidak
koheren dengan ysng lainnya, tujuh item yang sudah tepat dikonstruksi dengan
menstandardisasi dan menjumlahkan respon-respon dari tujuh pertanyaan.
Perbedaan lainnya antara kedua studi adalah bahwa tidak ada partisipan yang
diberikan bacaan tentang bagaimana berolahraga dapat memperpanjang umur.
Hasil
dari studi pertama terulang: hanya pada kelompok yang tidak mengalami
penundaan, penonjolan dari kematian berakibat pada lebih besarnya hasrat untuk
berolahraga daripada prosedur perawatan gigi yang menyakitkan. Akan tetapi,
dalam studi kedua, terdapat dampak yang umum terjadi untuk kesehatan dan harga
diri yaitu pada partisipan yang menganggap kesehatan penting bagi keseluruhan
harga diri mereka, berniat untuk banyak berolahraga setelah ditonjolkan
kematian daripada mereka yang tidak mengaap kesehatan pentingng. Selain itu,
terdapat pula dampak umum bagi penonjolan kematian: walaupun dalam kondisi
langsung, partisipan yang dibuat sadar akan kematiannya berniat untuk melakukan
olahraga daripada mereka yang dibuat untuk mengingat prosedur perawatan gigi
yang menyakitkan. Kesegaran yang mempunyai dampak umum terhadap partisipan yang
diberikan penundaan dalam menjawab pertanyaan mengenai keinginan berolahraga
mereka, dengan mengatakan bahwa mereka akan lebih berolahraga daripada
partisipan yang langsung memberi respons.
Akhirnya,
korelasi yang ditemukan menunjukan bahwa keinginan untuk berolahraga meningkat
setelah penonjolan kematian, hanya terjadi pada partisipan yang menganggap
kesehatan sebagai sumber penting dari harga diri mereka. Secara keseluruhan,
hasil dari kedua studi ini membenarkan pentingnya dari membedakan antara
pertahanan proksimal (sadar) dan distal (tidak sadar) dari kematian. Mereka
juga membenarkan gagasan bahwa manusia akan lebih termotivasi dalam melaukan
perilaku yang melawan kematian dan penyakit (yaitu olahraga) saat kematian
mereka ditonjolkan, terutama apabila berolahraga merupakan hal yang relevan dan
sumber penting dari harga diri mereka.
Kesimpulannya,
manajemen teror terlihat menyokong prinsip dasar dari psikologi eksistensial,
yaitu kecemasan sadar dan tidak sadar yang ditumbuhkan dari pikiran tentang
kematian merupakan dorongan yang kuat dari kebanyakkan perilaku manusia
H. KRITIKAN ATAS TEORI MAY
Eksistensialisme
secara umum serta aliran psikologi May secara khusus telah dikritik dan
dikatakan sebagai anti-intelektual dan ati-teoretis. May mengakui bahwa
pandangannya tidak mengikuti konsep tradisional dari sebuah teori, namun ia
dengan kukuh mempertahankan aliran psikologinya dari tuduhan sebagai
anti-intelektual atau tidak ilmiah. Ia menitik beratkan pada metode ilmiah
konvensional yang steril dan ketidakmampuannya dalam membuka karakter ontologis
dari manusia, yaitu keinginan, peduli, dan bertindak.
May
memegang pandangan bahwa aliran psikologi ilmiah yang baru harus dapat
mengenali karakteristik manusia, seperti keunikan, kebebasan pribadi, takdir,
pengalaman fenomenologis, dan khususnya kapasitas kita untuk menghubungkan diri
kita sebagai objek dan subjek. Ilmu pengtahuan baru mengenai manusia harus juga
memasukan etika. “Tindakan untuk hidup, kesadaran diri manusia tidak bersifat
otomatis, namun meliputi pertimbangan dan konsekuensi atau potensi-potensi
untuk kebaikan dan keburukan” (May
1967).
Sampai
ilmu pengetahuan baru ini mencapai kematangan yang lebih tinggi, kita harus
mengevaluasi pandangan May dengan kriteria yang sama yang digunakan untuk
setiap pakar teori kepribadian lainnya. Pertama, apakah gagasan dari May
menghasilkan penelitian ilmiah? May tidak merumuskan pandangannya dalan
struktur teoritis, dan sebuah kekurangan hipotesis ditemukan dalam tulisannya.
Beberapa penemuan, seperti penelitian Jeff Greenberg dan koleganya mengenai
manajemen teror, secara umum berhubungan dengan psikologi eksistensial, namun
penelitian-penelitian tersebut tidak secara langsung berasal dari teori May.
Oleh karena itu, dalam kriteria pertama dari teori yang bermanfaat, psikologi eksistensial
May mendapatkan nilai yang sangat rendah.
Kedua,
dapatkah gagasan May diverifikasi atau memiliki kemampuan untuk diuji ulang?
Sekali lagi, psikologi eksistensial secara umum dan teori May secara khusus
harus dinilai sangat rendah dalam kriteria ini. Teori ini tidak terlalu
terbentuk dengan pasti untuk menawarkan suatu hipotesis yang spesifik yang
dapat memastikan atau tidak suatu konsep utama.
Ketiga,
apakah filsafat yang berorientasi pada psikologi milik May membantu
mengorganisasi apa yang sekarang ini
diketahui tentang sifat alamiah manusia? Dalam kriteria ini, May akan menerima
penilaian yang sedang. Dibanding pakar teori yang lain yang didiskusiakn dalam
buku ini, May paling dekat mengikuti pepetah dari Gordon Allport, “jangan
melupakan apa yang sudah anda putuskan untuk tidak dipedulikan” (Allport,
1969). May tidak melupakan bahwa ia tidak memasukan wacana mengenai tahapan
perkembangan, dorongan, motivasi dasar, dan faktor-faktor lain yang cenderung
menjadi bagian dalam pengalaman manusia.
Tulisan
filosofis May telah mencapai jauh kedalam relung-relung dari pengalaman manusia
dan telah menjelajahi aspek emanusiaan yang tidak dikaji oleh pakar teori
kepribadian lainnya. Popularitasnya berasal dari kemampuan untuk menyentuh
pembaca secara individual, untuk berhubungan dengan kemanusiaan mereka.
Walaupun gagasan-gagasan May dapat memberikan dampak yang tidak dapat diberikan
oleh pakar teori kepribadian lainnya, ia menggunakan beberapa konsep yang
kadang menjadi tidak konsisten dan membingungkan. Bahkan, ia memutuskan untuk
tidak memedulikan beberapa topik penting dalam kepribadian manusia, seperti
perkembangan, seperti perkembangan, kognitif, pembelajaran dan motivasi.
Sebagai
panduan praktis untuk bertindak, teori May cukup lemah. Walaupun mempunyai
pemahaman yang kuat mengenai kepribadian manusia, May mengumpulkan pandangannya
lebih dari pandangan filosofis daripada ilmiah. Bahkan, ia tidak menolak
dikatakan sebagai filsuf dan sering merujuk dirinya sendiri sebagia
fisup-terapis. Dalam kriteria konsistensial internal, psikologi eksistensial
May lagi-lagi tidak memenuhi standar. Ia menawarkan definisi yang bervariasi
untuk konsep, seperti kecemasan, rasa bersalah, intensionalitas, keinginan dan
takdir. Sayangnya, ia tidak pernah memberikan definisi operasional dari
istilah-istilah tersebut. Terminologi yang tidak akurat tersebut mempunyai
andil dalam kurangnya penelitian berdasarkan gagasan May.
Kriteria
terakhir dari teori yang berguna adalah hemat, dan dalam standar ini, psikologi
May menerima penilaian sedang. Tulisannya kadang terasa canggung dan terlalu
berat, tetapi kelebihannya adalah ia berkutat dengan masalah-masalah kompleks
serta tidak mencoba untuk terlalu menyederhanakan kepribadian manusia
I. STUDI
KASUS
Studi
Kasus 1
PERSAHABATAN ARAI DAN IKAL
(FILM LASKAR PELANGI)
Indonesia_ Dunia
perfilman Indonesia kembali “berguncang”, kali ini pelakunya adalah Mira
Lesmana melalui rumah produksinya Miles Production. Setelah film Ada Apa Dengan
Cinta (2001) laku laris, kali ini dia mengadopsi novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata untuk dijadikan film. Di Indonesia saja, novel tersebut sudah
masuk kategori best seller, belum
lagi di sejumlah negara di dunia, karena sudah ada terjemahannya dalam berbagai
bahasa. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari film ini, mulai semangat belajar,
persahabatan dan keharusan untuk menuntut ilmu.
Analisis:
Jika
kita melihat alur dari film ini dan mengikuti alur ceritanya. Maka, yang
menjadi inti dari film tersebut adalah salah satunya persahabatan antara Ikal
dan Arai. Ikal menjadi tokoh sentral dari kisah Laskar Pelangi. Mereka berdua
adalah sahabat dari kecil hingga dewasa. Dan mempunyai hasrat yang tinggi untuk
menimba ilmu di luar negeri. Akhirnya tersampailah mimpi mereka belajar di
Universitas Sorbonne Paris.
Persahabatan
mereka sudah terjalin sejak lama. Ada cinta nonseksual (Philia) diantara mereka berdua dalam bentuk persahabatan yang erat.
Karena mereka saling termotivasi dan bersaing secara sehat, mereka sukses
bersama-sama dan bisa membahagiakan keluarga mereka di Belitung sana.
Studi
Kasus 2,
BUNUH DIRI KARENA UJIAN NASIONAL
(Replubika.co.id, diakses Senin 12 Mei 2014)
Tabanan_
Polisi masih mendalami motif atas peristiwa bunuh
dirinya seorang siswi SMP Negeri 1 Tabanan, Bali, setelah mengikuti ujian
nasional pada Selasa. Selain mengumpulkan keterangan dari para saksi, polisi
juga mengecek kondisi korban bernama Leony Alvionita (14) di Rumah Duka Kerta
Semadi, Denpasar. Korban pertama kali ditemukan orang tuanya, Oky, di dalam
kamar rumahnya di Jalan Mawar Nomor 51 Tabanan, sekitar pukul 10.00 Wita dalam
keadaan leher terikat dasi seragam yang dikenakannya.
Diduga korban mengalami depresi setelah
mengikuti UN hari kedua dengan mata pelajaran Matematika. Sebelumnya orang tua
korban sempat menanyakan kepada anaknya itu sepulang dari sekolah mengenai UN
Matematika itu.
Analisis:
Dari tahun ke tahun
ujian nasional (UN) menjadi momok tersendiri bagi siswa. Baik dari tingkat
sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Banyak cara yang dilakukan pihak
sekolah untuk mngurangi rasa kecemasan yang ada dalam diri siswa. Salah satunya
dengan adanya jam tambahan maupun sampai kegiatan berdoa bersama.
Dalam kasus ini, korban
masih duduk di jenjang SMP. Dari keterangan yang didapat, korban ternyata
mengalami rasa depresi yang akut sampai melakukan bunuh diri. Ada rasa bersalah dalam diri korban
sehingga mengakibatkan kecemasan dan tidak dapat menguasi dirinya. Rasa
bersalah muncul saat korban menyangkal potensinya, gagal melihat secara akurat
kebutuhan dari sesamanya, atau lupa akan ketergantungannya pada alam.
Studi
Kasus 3,
PELAKU PEDOFILIA MENYEBARKAN 10.236 FOTO
(TRIBUNnews.com. Rabu, 16 April 20114 diakses Senin,
12 Mei 204)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Tjandra Adi Gunawan (37) menyebarkan 10.236 foto tidak senonoh
anak-anak di dunia maya. Pelaku fedofilia tersebut mengupload foto korbannya
yang merupakan siswi sekolah dasar di Surabaya, termasuk foto seorang anak
laki-laki.
Dari jumlah ribuan tersebut, enam foto
diantanya adalah foto enam korban yang ditipunya melalui facebook. Tjandra Adi
Gunawan (37) diduga mengidap fedofilia. Dalam mencari korbannya ia menyamar
sebagai dokter perempuan di dunia maya.
Pelaku sengaja membuat akun facebook menyamar
sebagai seorang wanita yang berprofesi sebagai dokter kesehatan reproduksi
remaja. Dia mengundang korbannya lewat facebook, setelah diterima dia mengajak
chating korbannya. Setelah di terima pertemanan oleh korbannya, kemudian pelaku
melancarkan aksinya dengan menjelaskan terlebih dahulu tentang kesehatan
reproduksi untuk meyakinkan korbannya.
Analisis:
Manusia sejak lahir memang dibekali dengan nafsu. Karena itu lah yang
membedakan dengan ciptaan-Nya yang lain. Dalam kasus ini, pelaku mengalami
kelainan seksual. Nafsu berahinya tinggi sekali terhadap anak-anak laki-laki
kecil. Dia merasa mencapai kepuasan tersendiri jika melihat dan melakukan
perilaku biadab tersebut.
Menurut May, seks adalah fungsi biologis yang
dapat dipuaskan melalui hubungan seksual atau cara melepaskan tekanan seksual
lainnya. pelaku mengalami disfungsi seksual yang mengarah kepada pedofilia.
Karena kepuasaan seksualnya berada di sana. Na’udzubillah.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan pada bab sebelumnya, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
a.
Kecemasan menurut Rollo May dibagi menjadi
dua, yaitu kecemasan normal yang dialami oleh semua orang sebagai bentuk
pertumbuhan dan perubahan dari diri seseorang, dan kecemasan neurotik yang
merupakan reaksi yang tidak proposional dengan sebuah ancaman.
b.
Kecemasan mulai muncul dan bangkit saat
manusia dihadapkan dengan masalah pemenuhan potensi mereka, dan rasa bersalah
muncul saat manusia menyangkal potensinya, gagal melihat secara akurat
kebutuhan dari sesamanya atau lupa akan ketergantungan dengan alam. Kecemasan
dan rasa bersalah bersifat ontologis yaitu merujuk pada sifat alamiah dari
suatu keadaan dan bukan perasaan yang muncul dari situasi atau pelanggaran yang
spesifik. Secara keseluruhan, May
mengidentifikasikan tiga bentuk perasaan ontologis yang masing-masing
berkorelasi dengan tiap bentuk being-in-the
world, yaitu Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt
c.
Untuk peduli pada seseorang berarti
untuk menganggap orang tersebut sebagai sesama manusia dengan mengidentifikasi
diri dengan rasa sakit dan kesenangan serta rasa bersalah atau rasa kasihan orang
tersebut hal ini karena kepeduliaan merupakan suatu proses aktif, kebalikan
dari rasa apatis. Sehingga, kepeduliaan merupakan kondisi ketika sesuatu
benar-benar berarti
d.
May mengidentifikasi empat macam cinta
dalam tradisi Barat, yaitu: (1) Seks, (2) Eros, (3) Philia dan (4) Agape. Dan
Kebebasan datang dari pemahaman akan takdir kita. Sehingga, kebebasan dibagi
dengan dua bentuk, yaitu: (1) Kebebasan untuk melakukan (freedom of doing) yang dapat disebut dengan kebebasan eksistensial,
dan (2) Kebebasan untuk menjadi (freedom
of being) juga dapat disebut sebagai kebebasan esensial.
e.
Mitos adalah cerita-cerita yang
menyatukan masyarakat karena dari sini manusia menemukan arti dari hidup mereka
dengan manusia lain dalam kebudayaan yang sama. Karena May percaya bahwa
manusia berkomunikasi satu sama yang lain dengan dua level, yaitu melalui
bahasa rasionalisme dan melalui mitos.
DAFTAR
PUSTAKA
Feist, Jess dan Gregory J. Feist.
2010. Teori Kepribadian (Edisi 7).
Jakarta: Salemba Humanika
Olson, Matthew H. B.R Hergenhahn.
2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian
(Edisi Kedelapan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Komentar
Posting Komentar